Galeri Lukisan Aditya Bima, Yogyakarta
Hari ini hari minggu, aku berencana mampir ke galeri dan coffee shop milik Adit. Sekadar menyapa Naraya dan membawakannya sesuatu. Dari awal aku mengenal anak spesial ini, aku memang sudah jatuh cinta padanya. Apalagi Mita sempat secara tak langsung menitipkan Naraya padaku. Sekarang dengan kehidupan yang baru ini, semoga aku tidak lagi mengecewakan harapan Mita untuk anak sematawayangnya ini.
Dari dalam mobil, aku melihat Naraya tengah bermain bersama ayahnya dan Haris di halaman galeri. Masih pukul delapan pagi. Aku membawakan mereka sarapan. Berharap dapat memberi tanda bahwa aku benar-benar ingin memulai kehidupan yang baru dengan orang-orang yang mencintaiku—dan yang aku cintai.
“Widuri?” sapa Adit menyambutku. Naraya yang sedang bermain bola bersama Haris sontak melihatku dan berlari untuk segera memeluk. Aku menyapanya dan dia langsung mencium pipiku.
“Naraya apa kabar?” tanyaku dengan intonasi yang tegas, agar Naraya dapat menangkap maksudku.
Anak itu tersenyum kecil dan kembali memelukku. Seperti tengah mengatakan, “Aku baik baik saja ibu.” Dulu Naraya sempat pernah memanggilku Ibu Widuri, namun sepertinya semakin besar gejala autisme yang muncul, maka kata-kata yang pernah ada juga mulai perlahan hilang. Dan sepertinya anak yang menggemaskan ini memang membutuhkan terapi yang intensif dan segera.
“Ibu membawakan sarapan untuk Naraya, ayah dan uncle, kamu mau?” tawarku lagi. Naraya melihat apa yang aku bawa. Dia mengangguk dan melihat ke ayahnya, meminta persetujuan. Aku tersenyum kepada Adit. Memberikan Bahasa tubuh padanya bahwa semua akan baik-baik saja.
“Oke Naraya! Mari kita siapkan di dalam!” ajak Haris mendekati kami dan membawa Naraya ke dalam. Dalam airmuka yang ia tunjukkan, Haris mempersilahkan kami untuk berbincang berdua sebelum kami melanjutkan sarapan pagi.
“Kamu nyaman tinggal di sini?” tanyaku basa-basi.
“Rumah yang dulu terlalu jauh. Tidak akses-able dan aku berpikir malah akan menjualnya saja,” ujar Adit menjelaskan sambil mengajakku berkeliling galeri miliknya.
“Lalu nanti kamu akan tinggal di mana?” tanyaku spontan.