Kami sudah sampai di tempat terapi. Hari ini Naraya terlihat sangat senang, ketika dia tahu Ibu Widurinya ikut menemani. Dalam klinik terapi ini banyak sekali anak-anak yang berkebutuhan khusus seperti Naraya, bahkan ada yang lebih parah. Di titik ini harusnya aku bersyukur. Allah maha baik, telah mengingatkanku lebih awal bahwa aku dititipkan seorang anak yang diberikan hati yang bersih dan jiwa yang tulus. Selama ini Naraya tidak pernah menyusahkanku. Dia adalah anak yang patuh, hanya saja terhambat dalam masalah komunikasi, itu saja. Tapi, aku tetap bangga memiliki naraya, meskipun disatu waktu aku merasa sedih mengapa ini harus menjadi takdir hidupnya. Ya begitulah manusia, kadang kuat kadang rapuh, tinggal bagaimana kita mencoba untuk mengendalikan perasaan yang datang silih berganti tanpa permisi.
“Yeay! Naraya akhirnya datang bersama bundanya ya? Selamat datang bunda! Ini adalah kali ketiga Naraya terapi ya?” terapis berkerudung itu menyambut ramah. Sayang dia salah, Widuri bukan bunda Naraya, tapi calon bunda—lagi-lagi semoga!
“Bukan Miss, ini bukan bundanya Naraya,” jawabku tersenyum kecil.
“Oh, maaf! Saya pikir kemarin ayahnya pergi sama bunda ke Kalimantan,” terapis itu menundukkan kepalanya meminta maaf.
“Saya…,” Widuri menatapku.
“Ini calon bunda Naraya insya Allah!” ujarku dengan lantang. Bagaikan petir di tengah hari yang muncul tiba-tiba. Widuri menatapku dengan perasaan yang campur aduk—mungkin. Para terapis yang mendengar itu, mengamini. Widuri tampak canggung, dia menepuk punggungku pelan. Mungkin tanda tidak setuju atau bisa jadi juga tanda setuju.
Terapisnya memohon izin membawa Naraya masuk ke salah-satu ruangan kecil tempat mereka biasa melakukan sesi terapi selama satu jam. Aku dan Widuri menunggu di ruang tunggu yang disediakan. Widuri masih terlihat canggung dan terus berusaha untuk terlihat santai dan biasa saja. Sepertinya dia tidak tertarik mengonfirmasi apa yang telah aku sampaikan tadi.
Seorang perawat menghampiri kami. Dia meminta kami untuk menemui dokter tumbuh kembang yang baru saja datang. Mataku mengarah pada Widuri, memohon untuk dia dapat menemani, secara Widuri adalah seorang dokter juga. Setidaknya Bahasa langit itu nanti dapat ia bumikan padaku. Aku benar-benar ingin tahu kondisi Naraya yang sebenarnya. Sehingga aku bisa melakukan apapun dengan tepat dan sesuai.
---