Laboratorium Klinik Arkananta, Yogyakarta
Hari ini adalah hari peresmian Laboratorium Klinik yang didirikan oleh sepupuku, Mas Ginting. Laboratorium kesehatan ini adalah cita-cita kedua orangtuaku dan keluarga besar kami. Harapannya kami suatu saat dapat memberikan sarana kesehatan yang mampu memberi manfaat untuk masyarakat banyak. Diberi nama Arkananta, yang berarti selalu diterangi dan diberkahi. Nama ini sudah disepakati keluarga besar, mereka merujuk pada bahasa sansekerta. Hari ini aku mengundang Adit dan keluarganya, serta Alia dan kawan-kawannya untuk datang ke acara peresmian ini.
“Hai Alia, aku kangen banget sama kamu nih!” aku memeluk erat Alia dan menyapa ketiga kawannya.
“Kak Aditya datangkan kak?” tanya Alia sambil berusaha mencuri pandang mencari Adit.
“Datang kok Al! Kak Aditya banget yang kamu cari nih?” godaku menyenggol bahunya. Alia tersenyum malu dan terlihat di sorot matanya cinta yang berlimpah untuk Adit. Tapi maaf Alia, mungkin kali ini aku tidak bisa membantumu lagi. Karena aku ternyata perlu menolong diriku sendiri.
“Dokter Widuri, acaranya sebentar lagi bisa dimulai?” asisten Mas Ginting mendekatiku. Mas Ginting adalah kakak sepupu tertua, dia adalah profesor ahli patologi klinik. Beliau juga yang telah mengupayakan laboratorium keluarga ini bisa berdiri. Dulu kedua orangtuaku menitipkan harapan padanya, saat ia masih sekolah mengambil program doktoral di Gadjah Mada.
“Prof Ginting meminta saya yang menggantikan beliau memberi kata sambutan ya Mbak?” tanyaku memastikan.
“Iya Dok! Karena beliau masih ada kerjaan di Rumah Sakit, mungkin akan terlambat. Bisa kan ya Dok?” aku mengangguk memenuhi keinginan mereka.
Aku meminta izin pada Alia dan kawan-kawannya untuk maju ke panggung yang telah disiapkan panitia. Adit belum datang, belum ada tanda-tanda dia sampai di sini. Entah mengapa kini setiap hari aku selalu merindukan kehadirannya. Adit telah mewarnai kembali hidupku. Ibaratkan kehidupan ini adalah kanvas, dulu ia sempat bewarna, lalu ketika belum selesai sesuai keinginan, banyak warna lain yang menimpa seenaknya silih berganti. Hingga kanvas itu penuh dan aku pada akhirnya memutuskan untuk mencampur semua warna dan membuat kanvas ini tegak dengan satu warna saja, yaitu warna hitam. Dan kini, Adit datang mewarnai kembali kanvas hitam itu. Bukan membuat yang hitam menjadi putih. Tapi bagaimana menghias kanvas yang hitam menjadi lukisan yang layak di pandang. Adit berhasil melakukannya, dia telah membuat kelabu dalam hidupku menjadi biru. Biru cerah yang mencegah mendung untuk merundung.
“Terima kasih atas kesempatannya, saya di sini berdiri mewakili Prof Ginting yang telah mempersiapkan laboratorium klinik ini sejak lama. Di sini saya juga akan berperan sebagai salah satu dokter yang harapannya dapat mendukung keberlangsungan layanan di sini. Sebagai dokter kandungan, saya sudah me-request khusus kepada Prof Ginting untuk mengkhususkan bagian untuk pemeriksaan panel TORCH. Insya Allah untuk kawan-kawan yang ingin melakukan pemeriksaan, khusus untuk permasalahan TORCH dan reproduksi, kita nanti bisa bertemu di sini pada waktu-waktu yang telah disediakan tentunya. Selain itu, ke depannya saya juga pasti akan bawel meminta kepada jajaran petinggi di lab ini, untuk kita sering-sering terjun ke masyarakat melakukan pemeriksaan gratis. Agar ke depannya, sesuai namanya, lab ini akan terus diberkahi oleh kebaikan banyak orang. Saya tidak pandai berpidato seperti Prof Ginting, tapi semoga dapat memberi pengantar yang baik. Jika ada hal yang perlu dikonfirmasi dan ditanyakan, saya persilahkan!” ujarku menatap para undangan yang terlihat hikmat mendengarkan. Dan beberapa orang tampak mulai mengangkat tangan untuk bertanya.