Widuri menelponku pukul Sembilan malam. Setelah pulang sore tadi dari acara peresmian laboratoriumnya, dia tidak lagi bertukar kabar denganku. Namun tiba-tiba dia menelpon dan memintaku untuk datang menjemputnya di rumah. Katanya, sesuatu terjadi dengan Alia. Dan kami harus segera ke sana untuk memastikan kondisinya baik-baik saja. Alia sudah mendapatkan hasil tes laboratoriumnya lewat email. Dia menelpon Widuri dan menangis. Ya, hanya menangis saja. Sampai Widuri harus mengecek ke pihak laboratorium untuk hasil pemeriksaan mereka tadi sore. Anan, Ata, dan Abang negatif. Sedangkan Alia hampir semua positif TORCH. Widuri memiliki firasat kalau Alia shock dan stres mengetahui dirinya ternyata bernasib sama dengan orang-orang yang dia wawancara untuk proyek sosial ini.
“Dit, kita segera ke sana saja ya!” Widuri masuk ke dalam mobil. Wajahnya panik dan terlihat sangat khawatir. Dia mengajakku karena dia pikir, rasa cinta Alia kepadaku, semoga dapat membuat Alia mau mendengarkan masukan dan penguatan dariku. Ah, Widuri masih sama. Tapi, dalam kondisi ini mungkin memang Alia membutuhkan kami. Ya, semoga memang membutuhkanku dan Widuri, bukan membutuhkanku saja. Karena sekuat apapun Widuri memaksaku untuk mencoba dekat dengan Alia, aku sepertinya tetap tidak akan bisa. Karena bagiku bertemu kembali dengan Widuri adalah kesempatan terakhir untuk kembali merasakan cinta yang sudah terlalu lama tidak menyapa.
“Dit, nanti tolong bantu untuk meyakinkan Alia bahwa semua akan baik-baik saja ya? Seperti kamu selalu meyakinkan aku, bisa?” pinta Widuri.
“Tapi Wid? Kalau Alia nanti jadi berharap gimana?” aku berusaha menolak permintaan Widuri.
“Apa susahnya sih Dit? Semua orang akan melakukan hal yang sama jika menghadapi orang yang sedang dalam kecemasan dan depresi. Aku yakin, Alia pasti kaget dan shock dengan hasil pemeriksaanya. Ya, kamu bayangkan aja Dit! Seorang relawan yang dulunya kerja untuk orang-orang yang terinfeksi TORCH, lalu ketika dia memeriksakan dirinya, ternyata diapun positif. Apalagi Alia masih muda, sangat wajar jika reaksinya seperti ini. Jadi tolong, tolong bantu aku Dit!” Widuri memaksa. Entah aku bisa atau tidak untuk melakukan permintaan Widuri. Tiba-tiba aku jadi teringat bagaimana dulu Mita berusaha menenangkan Wimala. Ketika Mala tahu bahwa dia juga terinfeksi TORCH sebelum menikah dengan Pram.
Aku berusaha mengerti kekhawatiran Widuri dan berusaha juga menerima bahwa aku memang harus membantunya menenangkan Alia. Tapi apakah ini nantinya tidak akan mengubah takdirku dan Widuri untuk kesekian kalinya? Aku takut Widuri akan berkorban lagi dan kembali menghilang. Aku takut Widuri memaksaku untuk belajar mencintai Alia. Aku takut takdir yang aku harapkan bersamanya kandas lagi. Sudah cukup aku hidup dalam rasa yang tak pernah menapak mencium bumi. Aku sudah terlalu lelah dipaksa takdir untuk belajar mencintai. Sedangkan apa yang ingin kucintai, tak pernah bisa aku miliki.
---
Kos-kosan Putri, Yogyakarta