Alia memutuskan untuk sementara pergi menenangkan dirinya ke Solo, ke rumah saudaranya. Dia menitipkan sementara proyek kami ini pada Anan. Sepertinya Alia sulit menerima apa yang harusnya sudah bisa dia terima dengan mudah. Ternyata dengan menjadi relawan, tidak mengurangi rasa sedih itu. Ya, hampir semua orang yang baru mengetahui dirinya terinfeksi TORCH akan melakukan hal yang sama. Seakan-akan dunia berakhir saat itu juga dan seakan-akan tak ada lagi harapan untuk hidup. Seperti yang terjadi padaku dulu, saat melakukan pemeriksaan bersama Ihsan. Saat mengetahui bahwa aku terinfeksi. Saat mengetahui harapan memiliki anak itu nyaris tak ada. Dan saat harus menerima kenyataan, Ihsan menceraikanku karena keadaanku dan desakan keluarganya.
Saat di Rumah Sakit, Adit sudah berusaha membujuk Alia dan menenangkannya. Meyakinkan bahwa Alia bisa menghadapi ini dengan baik ke depannya. Lalu, Alia bertanya pada Adit, “Laki-laki mana yang mau hidup dengan perempuan yang terinfeksi TORCH kak?” Adit menatapku.
“Bukankah Kak Widuri ditinggalkan suaminya karena terinfeksi TORCH?” Alia sekarang menatapku dengan tatapan yang mencecar. Aku dan Adit saling bertukar tatapan. Kami hanya diam membisu tak mampu menyanggah kenyataan yang memang benar adanya begitu.
“Bukankah karena TORCH juga akhirnya istri Kak Adit pergi meninggalkan kakak?” Alia mulai tak mampu mengendalikan dirinya. Ata dan Abang terpihat turut berusaha menenangkan sahabatnya itu.
“Tapi, Pram tetap menerima Wimala, ketika tahu ternyata alasan Mala membatalkan pernikahan karena Mala terinfeksi TORCH. Tentu ada yang mau menerima perempuan yang terinfeksi TORCH Alia!” ujarku menghibur Alia.
“Itu karena Kak Pram juga positif TORCH! Apa jadinya jika Kak Pram tidak positif? Apa mau menerima Kak Mala yang nanti akan menularkan penyakit ini ke Kak Pram? Hah? Tidak usah menghiburku kak. Aku tahu semuanya, dan itu yang membuat aku ragu untuk melihat hari esok!” ujar Alia menangis terisak. Aku memeluknya pelan. Semua mata tertuju pada kami. Ya beginilah yang umumnya terjadi. Aku tak dapat menyalahkan keadaan yang ada. Alia hanya harus belajar untuk bangkit lebih cepat di banding yang lain. Melihat bahwa harapan itu akan selalu ada untuk yang tetap terus mengusahakan.
---
“Dit, kamu ingat kasus anak Bapak Arman di Berau? Anak pertama yang mengalami skizo?” tanyaku sambil duduk bersama Adit menunggu triple A turun ke kafe di bawah rumah sakit.
“Kenapa Wid?” tanya Adit.
“Infeksi TORCH ini sangat dekat dengan gangguan mental. Sudah ada penelitian yang mengaitkan Toxoplasmosis dan Skizofrenia. Kaitannya sangat molekular Dit! Keberadaan parasit tersebut membuat ada semacam gangguan di otak manusia. Begitu juga dengan kecemasan, depresi, dan psikosomatis, sangat lazim terjadi,” jelasku.