Hari ini harusnya kami berangkat ke Lampung untuk perjalanan kedua setelah proyek di Berau selesai. Namun karena kondisi Alia belum membaik, perjalanan terpaksa ditunda. Pagi diakhir pekan yang cerah ini, aku ingin mengajak Widuri ikut serta pergi bersama kami. Haris dan Bulik sudah berencana sejak lama untuk kami membawa Naraya bermain di alam. Belakangan Naraya sangat sibuk sekali dengan kertas-kertas dan gambar buatannya yang sangat mengagumkan untuk usia anak enam tahun. Mungkin jika Naraya bisa melihat indahnya alam ini, dia akan memiliki inspirasi menggambar lebih baik. Dan pada akhirnya bisa menjadi pelukis seperti ayahnya ini.
“Kita akan bertemu Mbak Widuri di Kalibiru mas?” tanya Haris sambil memasukkan barang-barang ke dalam mobil. Naraya dan eyangnya telah duduk manis di dalam mobil.
“Sepertinya begitu, karena pagi ini Widuri harus mengecek sesuatu di laboratorium jadi dia prefer untuk menyusul saja,” jawabku.
Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, kami segera berangkat menuju Kalibiru. Tempat kenangan yang sebenarnya begitu banyak menyimpan kepingan cerita masa lalu. Awalnya saat aku kembali mengajak Widuri, dia cukup kaget aku mengajaknya ke sana. Dia khawatir masa lalu akan memeluk erat mereka jika sampai menginjakkan kaki lagi di sana. Dulu saat aku membawanya ke sana, wisata Kalibiru ini belum ada. Hanya ada hutan lindung yang indah dan masih alami. Di sana kami bisa melihat keindahan waduk dari atas. Dan di sana juga Widuri menemaniku menyelesaikan lukisan yang tadinya akan kuberikan padanya.
Banyak orang mengatakan, bahwa masa depan itu adalah babak yang digunakan untuk mengenang masa lalu. Terkadang jika masa lalu mampir, masa depan seakan tak kuasa untuk mengusir. Atau bisa jadi masa lalu akan menjadi masa depan, siapa yang tahu? Siapa yang menyangka hubunganku dengan Widuri sekarang seperti ini? Ibaratkan serial film, kami bersambung cukup lama.
Perjalanan kali ini mungkin akan menjadi babak baru untuk hubunganku ke depan bersama Widuri. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menuntaskan ini. Sudah lelah rasanya mencari dan menemukan Widuri berkali-kali. Aku ingin Widuri tetap di sini, tidak ke mana-mana lagi dan kamipun bisa menua bersama dan mengenggam bahagia yang tertunda.
---
Kalibiru, Yogyakarta
Sudah tiga puluh menit kami sampai di sini. Naraya tampak begitu antusias untuk segera menggambar. Sedangkan aku sedikit resah menunggu Widuri, apakah mungkin dia tak jadi datang? Padahal hari ini aku berencana menanyakan kepada Widuri tentang perasaan dia padaku, apakah sama atau sebaliknya? Atau jangan-jangan selama ini aku saja yang bisa jadi terbawa perasaan dan ternyata selama ini Widuri hanya menyayangiku sebatas teman dan sahabat, tidak lebih. Parahnya lagi, jika dia tidak tertarik hidup bersamaku dan Naraya.
“Adiiit!” tangannya mendorong punggungku. Aku melihatnya, dia datang.