VU University Medical Center Amsterdam.
Sebelum aku keluar dari rumah sakit.
Hari ini adalah hari terakhir aku di rumah sakit. Setelah luka paska operasi pengangkatan rahim membaik, dokter mempersilahkan untuk istirahat di rumah. Ihsan telah menyewa apartemen untuk kami tinggal beberapa bulan sampai aku benar-benar diperbolehkan untuk terbang pulang ke Indonesia. Aku menatap Ihsan yang antusias mendengar kabar bahwa kondisiku jauh lebih membaik dibanding kali pertama aku di rawat. Ada rasa sedih meninggalkan tempat ini, karena hampir setahun bersama mereka semua dan pelan-pelan kini aku sudah pandai sedikit bahasa belanda.
“Terima kasih untuk kamu yang menemaniku setahun terakhir ini dan rela bolak-balik Indonesia-Belanda hanya untuk pengobatan ini. Aku berhutang budi padamu!” ujarku menepuk bahu Ihsan ketika dia mengajakku jalan pagi di taman rumah sakit.
“Wid, apa yang aku lakukan ini tidaklah bisa menebus rasa bersalahku padamu.” Ihsan berhenti dan memegang kedua tanganku lembut.
“Melihatmu lebih sehat seperti ini adalah kebahagiaan yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Allah masih sangat menyayangimu Wid!” ujar Ihsan.
“Setelah ini hidup akan bagaimana ya? Apakah akan berpihak padaku?” tanyaku menatap Ihsan.
“Tentu, karena perjalanan panjangmu sudah selesai di sini. Dan besok kamu harus berjalan di atas bumi yang baru. Oh ya, Dinda mengirimkan beberapa potong baju dan kerudung yang dia desain khusus untuk Teh Widurinya, kamu harus pakai nanti!” Ihsan tersenyum menghiburku. Namun, dalam lubuk hati yang paling dalam aku ragu bisa hidup seperti apa yang Ihsan harapkan.
“Aku ingin bertanya satu hal, boleh?” tanyaku mengajak Ihsan duduk di salah satu bangku.
“Boleh, bertanya apa?” jawab Ihsan.
“Apa yang kamu dan Adit bicarakan sesaat sebelum aku memberikan keputusan ini?” Ihsan mengubah ekspresinya. Ada sesuatu yang sepertinya tak ingin ia beritahu karena sudah terlanjur janji pada Adit.
“Widuri, aku tidak bisa memberi tahumu, karena aku yakin suatu saat nanti Aditmu itu akan menyampaikannya sendiri padamu.” Ihsan menepuk bahuku lembut.