Rumah Widuri, Yogyakarta
Malam ini hari bahagia itu datang. Aku dan keluargaku duduk di sini, memohon restu keluarga besar Widuri untuk berkenan menerimaku menjadi bagian dari mereka. Semoga ini adalah takdir yang memang aku impikan. Di mana akhirnya tulisan di ujung lukisan itu tidak hanya menjadi kata yang menguap. Tapi juga menjadi takdir yang di restui Tuhan dan alam semesta.
Dalam acara ini, Ihsan dan keluarganya juga datang dari Bandung. Sekalian setelah ini, Widuri akan ikut dengan mereka untuk melakukan check up rutin untuk kondisinya paska dua operasi besar kurang dari setahun yang lalu. Aku berterima kasih pada Ihsan, karena berkenan menjaga Widuri selama ini. Dan kini akhirnya Widuri kembali lagi masuk ke dalam hidupku. Aku tak akan melepaskan takdir ini begitu saja. Widuri Elok Rembulan akan kembali ke dalam pangkuan Aditya Bima yang sudah mencintainya sejak lama. Insya Allah sebentar lagi.
“Selamat ya Bima!” Ihsan menepuk bahuku dan menyalami kami. Widuri tersenyum bahagia memeluk Dinda dan anak-anaknya. Pemandangan ini adalah pemandangan yang sangat indah. Ketika cinta itu benar-benar berlimpah ruah di sekitaran kami.
“Oh ya Bim, sehabis ini boleh kita mengobrol sebentar?” bisik Ihsan. Aku mengangguk memeluk kawanku itu. Iya, kami bersepakat menjadi kawan baik setelah aku menitipkan Widuri selama pengobatan padanya.
Pernikahan kami akan dilangsungkan bulan depan. Begitu kesepakatan keluarga besar Widuri. Semua pengurusan acaranya akan diatur oleh wedding organizer yang disewa Mas Ginting, kakak sepupu tertua Widuri. Seminggu sebelum pernikahan, Pram dan Wimala akan pulang bersama buah hati mereka yang baru lahir 7 bulan yang lalu. Begitu pula Manda, dia akan membawa kedua anaknya dan Mas Gilang untuk pulang menghadiri pernikahan ini. Mereka semua berbahagia, begitu pula kami.
Proyek pembangunan rumah di belakang galeri harus segera dipercepat. Aku berharap seminggu sebelum menikah setidaknya sudah selesai. Dan kami mulai bisa menata kehidupan yang baru di sana. Naraya sudah tak sabar menaruh seluruh mainannya dan menempel gambar-gambar buatannya di sepanjang dinding yang ada. Sejak Widuri masuk ke dalam kehidupan Naraya, anakku itu mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dokter menyampaikan Naraya sudah mampu berkomunikasi dua arah untuk hal-hal yang ia butuhkan, seperti meminta tolong dan mengucapkan terima kasih. Ia juga sudah bisa menyebutkan nama, menunjuk dan menamai orang-orang yang ada di sekitarnya. Kebahagiaan yang berlipat ganda rasanya, saat aku bisa melihat Widuri dan Naraya bersamaan mewarnai hidupku ini.
---
“Bima, kamu tentu sudah tahu kondisi kesehatan Widuri kan?” ujar Ihsan memulai percakapan di halaman belakang rumah Widuri. Sepertinya ini akan menjadi percakapan yang cukup serius di antara dua lelaki yang mencintai Widuri.
“Sejauh ini dia sudah menceritakan ke saya kalau dia melakukan operasi besar selama setahun di Belanda. Operasi di kepalanya dan pengangkatan rahim…,” jawabku terbata. Jujur, aku takut jika Ihsan menambah daftar penyakit Widuri lagi. Aku tidak ingin Widuri menderita lagi setelah ini.
“Kamu tidak masalah Widuri tidak lagi utuh organ reproduksinya?” tanya Ihsan meyakinkan, sekaligus ada wajah yang meragu tertangkap oleh mataku.