Galeri Lukisan Aditya Bima, Yogyakarta.
Sudah satu minggu Widuri di Bandung. Dari terakhir pembicaraan kami, hasil pemeriksaan kesehatannya baik-baik saja. Namun, entah mengapa aku merasa ada yang aneh. Ada yang disembunyikan oleh Ihsan Widuri. Tapi semoga ini hanya kekhawatiranku saja yang berlebihan. Semoga semua memang baik-baik saja, seperti apa yang mereka sampaikan kepadaku.
Hari ini pagelaran terakhir. Besok jika memungkinkan, aku berniat ingin menjemput Widuri ke Bandung, meskipun pastinya ia akan menolak. Tapi rasanya seminggu terlalu lama bagiku. Rasanya ingin segera bertemu untuk sekadar ngobrol hal remeh sampai hal penting bersamanya.
“Kak Aditya?” suara perempuan yang sepertinya aku kenal baik. Aku membalikkan badan dan menemukan Alia tengah berdiri di hadapanku.
“Hai!” jawabku dengan ekspresi terkejut.
“Kakak kaget lihat aku?” tanyanya mempertegas keterkejutanku.
“Apa kabar Alia?” tanyaku terbata.
“Baik kak, seperti yang kakak lihat. Oh ya, selamat untuk pertunangannya dengan Kak Widuri dan untuk pernikahan kalian minggu depan…,” ujar Alia datar.
“Oh, itu, ehm, kamu tidak bisa dihubungi waktu itu, jadi maaf ya?” jawabku dengan nada tak enak. Aku mempersilahkan Alia duduk di salah satu meja kafe yang kosong.
“Kak Widuri tidak menyampaikan apa-apa ya kak tentang aku?” tanya Alia.
“Apa-apa bagaimana Alia?” tanyaku balik.
“Aku nggak tahu kenapa Kak Widuri melakukan ini semua. Jelas-jelas dia mengiyakan untuk membantuku. Tapi ternyata sekarang, ketika kondisiku rapuh, dia memanfaatkan keadaan!” guman Alia kesal.