Hari ini adalah hari terakhir aku kontrol di Bandung. Prof Kunto dan tim sudah memastikan bahwa cairan yang keluar adalah memang cairan otak. Kuat dugaan ini adalah tanda viral meningitis yang bisa jadi karena adanya infeksi CMV yang berulang. Jika dugaan ini tidak segera dikonfirmasi meningitis yang terjadi karena adanya infeksi virus, kondisiku mungkin dapat semakin memburuk. Ada risiko kerusakan saraf mendadak seperti kejang secara tiba-tiba dan yang ujungnya akan berkembang berubah menjadi meningoencephalitis.[1] Itu berarti, kembali pada penyakit awal sebelum di operasi. Pengobatan yang aku jalani mungkin memang sudah membuat kesehatan ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Tapi, bukan berarti aku bisa abai dan berlaku seenakku, seakan-akan aku selalu sehat. Ya, memang ini salahku yang tidak pernah mencoba menghargai diri sendiri.
Prof Kunto menyarakanku untuk mencoba pengobatan tanpa operasi. Mencoba pengobatan antivirus khusus dengan manajemen konservatif. Terapi non-bedah dapat dilakukan jika aku mau di rawat inap beberapa hari lagi di sini. Jika dengan metode ini tubuhku tidak merespon dengan baik, mau tak mau harus dilakukan operasi sebelum ini. Tapi aku tak mungkin di opname sekarang, karena aku akan menikah satu minggu lagi. Bagaimana caranya aku menyampaikan ini kepada Adit. Ah lebih baik sekarang aku berusaha untuk meredam keadaan ini. Adit belum saatnya tahu.
“Wid, sebaiknya kamu mengikuti saran Prof Kunto!” ujar Ihsan membujukku.
“Tidak sekarang, tolong beri aku waktu untuk memutuskan ini sendiri. Obat-obatan yang aku minum ini, aku rasa sementara cukup untuk membuat kondisi lebih baik. Atau nanti aku bisa mencari dokter di Yogyakarta untuk melakukan apa yang disarankan Prof Kunto. Aku tidak ingin menghancurkan mimpi Adit!” aku menenggak beberapa butir obat dengan segelas air putih. Berharap Ihsan memahami kondisi ini adalah kondisi yang cukup berat untukku dan mungkin juga untuk Adit jika dia tahu kondisi yang sebenarnya.
“Baikah, kami di sini hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu Wid.” Ihsan menepuk bahuku pelan. Dinda datang menghampiri kami membawa buah-buahan yang sudah dia potong kecil-kecil.
“Terima kasih untuk kebaikan kalian selama aku di sini. Maaf sudah sangat merepotkan!” ujarku sambil menatap Ihsan dan Dinda.
“Teh, teteh sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri. Jadi jangan sungkan jika butuh bantuan kami ya?” Dinda memelukku hangat. Terima kasih untuk kebaikan kalian.
---
Aku memutuskan untuk sementara menyediri dulu, setidaknya aku dapat merenungi ini semua dan akhirnya akan memutuskan jalan apa yang harus aku tempuh lebih dulu. Ihsan dan Dinda mengantarkanku ke Desa Rancabali. Desa di mana dulu aku pernah mengabdi cukup lama waktu masih sekolah kedokteran. Desa ini dekat sekali dengan danau Situ Patenggang. Bersyukurnya beberapa masyarakat ternyata masih mengenaliku meskipun waktu sudah memisahkan kami sekitar 12-13 tahun. Anak-anak yang dulu kami ajak bermain, kini sudah besar dan ternyata mayoritas dari mereka bisa kuliah di Bandung.
Salah seorang penduduk memaksaku untuk tinggal di rumahnya saja. Namanya Ambu Norma, beliau sudah 60 tahun. Dulu memang aku sangat dekat dengan beliau, sudah dianggap seperti ibu sendiri saat masa pengabdian. Masyarakat desa ini menyambutku dengan baik dan aku tak kuasa menolak kemauan mereka.
Rancabali, Jawa Barat.