Menanti Hujan Teduh

Isti Anindya
Chapter #41

40A (Sudut Pandang Aditya)

Widuri tidak juga mengangkat telepon dari tadi malam sampai siang ini. Aku coba mengontak Ihsan, sampai hari ini belum juga ada balasan. Seketika muncul perasaan khawatir yang mengacaukan fokusku. Anan dan kawan-kawannya baru saja memintaku untuk pergi ke bandara sore ini, ya setidaknya mengucapkan kata perpisahan untuk Alia. Dari semalam aku sebenarnya ingin sekali bercerita pada Widuri yang katanya akan pulang hari ini atau besok. Tapi, sekarang dia seperti kembali menghilang. Entah mengapa sulit bagiku berbaik sangka. Karena Widuri terlalu sering melakukan ini.

“Tiket ke Bandungnya jadi toh mas?” tanya Haris meminta kepastian agar dia dapat segera ke stasiun mencari tiket go show, karena tiket pesawat sudah habis. Namun jika aku ke Bandara sore ini, tentu tidak akan bisa untukku mengejar kereta sore ini.

“Beli saja dulu deh Ris!” pintaku. Haris segera bergegas mengambil motornya dan meluncur ke Stasiun Tugu. Berharap masih tersisa satu tiket ke Bandung, agar besok pagi aku bisa langsung menemui Widuri di sana.

Jari ini masih berusaha menekan tombol untuk tersambung dengan Widuri. Tapi, hasilnya masih nihil. Inilah yang aku takutkan. Aku takut Widuri berubah pikiran, bukan karena dia tak mencintaiku, tapi karena memikirkan orang lain. Pernikahan kami insya Allah akan dilaksanakan minggu depan. Jika memang takdirnya maka Widuri akan membersamaiku dan Naraya, yang pada akhirnya aku berharap kami akan menua bersama. Namun, jika Widuri pergi lagi, entah apa yang akan terjadi denganku nanti? Ya Allah, singkirkanlah kekhawatiran hamba terhadap takdir-Mu ini.

Wimbledon, London.

Beberapa tahun lalu.

Malam ini Widuri telah resmi menjadi istri Ihsan. Dia telah memutuskan untuk menikah dengan mantan suaminya itu. Keputusan yang sebenarnya bagiku adalah keputusan yang mematikan harapan untuk memiliki Widuri. Namun, aku meyakini keputusan ini nantinya akan memberikan harapan Widuri untuk hidup lebih lama. Dan aku harus merelakannya, karena di dunia ini tidak ada yang kekal. Mengikhlaskan Widuri bukan akhir dari kehidupan ini. Aku ingin melihat Widuri kembali menikmati dunia yang setengahnya ia rundung dalam mendung yang sepertinya enggan berhenti.

“Mas Bima?” Pram mengetuk pintu.

“Ada apa Pram?” tanyaku sambil membukakan pintu untuknya. Aku mempersilahkan Pram masuk.

“Naraya tidur sama Mala ya mas?” tanyanya. Aku mengangguk sambil melanjutkan menyusun pakaian. Besok aku harus kembali ke Indonesia, sesuai rencana kami dan Widuri dengan rencananya.

Lihat selengkapnya