Kami memutuskan untuk langsung melanjutkan perjalanan ke Bandung setelah kami berdua pamit dengan Ambu Norma dan keluarganya. Hati yang mungkin tadi sempat meragu terhadap takdirnya, sekarang insya Allah sudah benar-benar mantap untuk memulai hidup baru. Separah apapun sakit yang dirasakan Widuri, aku berjanji untuk menerima dan setia menemani setiap prosesnya. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama ketika Mita harus pergi dan meninggalkan rasa penyesalan yang terlalu dalam di hati ini.
Ujian yang menanti kami tentu tidak seberat ujian yang dilalui Bapak Ian dan istrinya, Bapak Arman dan keluarganya, serta Ibu Hilda. Mereka adalah narasumber yang harusnya membuat kami lebih kuat dan optimis menjalani hidup. Entah bagaimana kiranya, jika aku diposisi Bapak Ian yang tidak memiliki keturunan atau di posisi Bapak Arman yang memiliki lima anak cacat bawaan dan harus merasakan dua di antaranya pergi meninggalkan mereka. Menerima keadaan Widuri dan Naraya bukanlah hal yang sulit untukku, dibandingkan aku harus menjalani takdir seperti mereka.
Banyak kisah tentang penderita TORCH yang pernah aku dengar dari Pram. Banyak pula kekuatan yang harus aku dapatkan dari banyak cerita itu. Aku tak dapat membayangkan di saat mereka harus mengalami kejadian yang tak semua orang bisa merasakan, di saat mereka berjalan di atas muka bumi ini tanpa pendengaran yang baik, penglihatan yang tajam, atau tanpa kesempatan memiliki keturunan, tapi mereka tetap semangat untuk hidup bahkan berkarya. Semua ini tentulah terasa berat bagi kita yang melihat. Tapi bagi mereka yang kuat, ini akan menjadi takdir yang kelak akan meringankan langkah mereka menuju surga-Nya.
“Oh ya Wid, aku sampai lupa cerita tentang Alia!” ujarku mendadak ingat pada Alia. Aku menurunkan kecepatan mengemudi untuk membagi konsentrasi.
“Dia sudah membaik? Aku belum menghidupkan handphone nih! Malah aku berencana akan menghidupkannya nanti saja H-1. Agar bisa fokus menuju pernikahan.” Widuri menatapku dengan tatapan penasarannya
“Dia sudah lebih baik dari terakhir kita melihatnya. Kesalahan kita adalah tidak menjenguk Alia di Solo. Dan parahnya lagi, aku tak sempat melepasnya di Bandara karena di waktu yang sama aku harus mengejar kereta ke sini.”
“Bandara?” ujar Widuri terkejut.
“Iya, Alia memutuskan kembali ke Florida,” jawabku datar.
“Kok? Kenapa mendadak? Bagaimana dengan proyeknya?” Widuri sepertinya sangat cemas dan ada sedikit raut rasa bersalah di wajahnya.
“Aku juga nggak tahu Wid! Anan bilang, proyek ini dia yang ambil alih. Dia sudah mengatur perjalanan ke Lampung seminggu setelah kita menikah nanti, kamu setuju?” tanyaku.
“Duh, aku kepikiran sama Alia jadinya!” Widuri mengeluarkan handphonenya dari tas.
“Katanya mau nanti saja? Sudahlah Wid, sekarang kamu fokus dulu sama tujuan kita, dan pastinya kamu juga harus fokus dengan kesehatanmu itu. Sebelum pulang ke Jogja besok, kita ketemu dengan Prof Kunto yang merawatmu ya? Aku ingin meminta rekomendasi beliau, mana tahu ada profesor serupa yang bisa menanganimu di Jogja, mungkin ke depannya akan lebih baik untuk kita melanjutkan perawatan di Jogja saja,” tawarku.
Widuri mengangguk pelan dengan rasa penasaran di wajahnya yang meletup bagai air mendidih. Sebaiknya aku tidak menyampaikan dulu pada Widuri tentang kejadian bersama Alia beberapa hari lalu dan apa yang diceritakan Anan padaku. Agar Widuri tidak merasa tambah bersalah dengan keadaan yang sebenarnya tidak penting untuk dia pikirkan sekarang. Apalagi kondisi Widuri belum benar-benar membaik. Memang lebih baik jika sekarang aku diam saja, dan berusaha bijak memilih mana yang Widuri harus tahu dan mana yang tidak.
---
Bersama Widuri,
di atas Kereta bernama Turangga