Satu minggu setelah kepergian Widuri.
Kami memutuskan untuk tidak melaporkan hilangnya Widuri ke kantor polisi. Manda mengingatkanku tentang Widuri dan kehidupan yang membuatnya nyaman beberapa tahun belakangan ini. Mungkin memang Widuri tidak bisa dipaksa untuk berubah. Dia tetap memiliki sisi di mana akupun tak dapat menyentuhnya. Widuri hidup dengan apa yang ia pikirkan, sama seperti dulu, dan mungkin akan selalu begitu. Sudah satu minggu aku berusaha mencarinya. Tapi, sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan Widuri.
Apakah aku lelah? Apakah ini saatnya aku menyerah? Berkali-kali Widuri pergi dan berkali-kali pula aku menemukannya. Apakah ini saatnya aku tidak akan menemukannya lagi? Mungkin benar, cintaku untuk Widuri hanya akan selalu berada pada sebuah kotak di sudut hati yang harusnya tak usah aku buka lagi. Sampai kapanpun aku dan Widuri tidak akan pernah bisa menjalani takdir bersama. Buktinya, kejadian seminggu yang lalu, ketika pernikahan itu tidak terjadi. Tapi, kadang aku bertanya, untuk apa dia kembali? Untuk apa dia datang ke sini dan masuk ke dalam hidupku? Jika dia hanya datang tapi untuk pergi lagi.
Aku pandangi sudut rumah kecil kami, rumah yang dulu Widuri ikut membantu menatanya dan memilihkan warna. Kini hanya menjadi kenangan dalam bayangan yang susah aku lenyapkan. Tapi satu-satunya pilihan adalah aku harus memaksa diri melupakan Widuri yang telah melanggar janjinya sendiri. Dia bisa begitu tega padaku, akupun pasti bisa.
“Mas Bima?” tanya Wimala keluar dari kamar tamu. Aku menghapus air mata yang tak sadar sudah menetes dari tadi.
“Mala? Kenapa?” tanyaku gugup dan meminta Mala duduk di sampingku.
“Mas masih sedih karena Mbak Widuri?” tanya Mala.
“Mala, apakah mas bisa melukapan Widuri mulai hari ini?” tanyaku.
“Tidak perlu dipaksakan mas! Suatu saat ada masanya Mas Bima akan melupakan semua ini dan memiliki hidup baru yang lebih baik. Demi Naraya, Mas Bima harus melakukan yang terbaik, yang penting sekarang Naraya bisa tumbuh menjadi anak yang mandiri dan membanggakan ayahnya. Seperti apa kehidupan ke depan kita nggak akan pernah tahu. Dengan siapa kita akan bertemu dan bersatu, kitapun tak pernah tahu. Aku yang dulu merasa bahwa tidak adalagi takdir bertemu dengan Pram, ternyata Allah mempertemukan kami dan sekarang kami bersama. Kalau Mas Bima, takdirnya ternyata seperti ini, Mas Bima harus menerima itu dengan sebaik-baik penerimaan. Bukankah cinta itu di sini mas? Di hati yang kita bisa tata sesuka kita. Sekarang tinggal bagaimana Mas Bima mulai menatanya, bukan membuangnya atau melupakannya. Cukup di tata dan di letakkan di tempat yang sesuai. Sampai kapanpun Mas Bima tidak akan bisa membuang bayang-bayang Mbak Widuri, tapi yang bisa mas lakukan adalah bijak meletakkannya pada posisi yang tepat. Buktinya saat pertama kali dia meninggalkan mas, mas bisa kan akhirnya menikah dengan Mbak Mita dan mencintainya? Mala yakin, sekarang mas juga bisa kok!” Mala memelukku. Aku tiba-tiba menangis. Apa yang Mala katakan benar, aku pasti bisa pelan-pelan mengembalikan Widuri ke dalam kotak di sudut hati yang tak perlu aku sentuh lagi.
---
Rumah Sakit JIH, Yogyakarta.