Sudah lima hari aku menginap di rumah sakit. Aku tidur dalam keadaan bimbang. Satu hari setelah hari pernikahan itu, Eyang Sri memaksaku untuk segera ke rumah sakit. Mereka mengatarkanku dengan mobil butut mereka dari Ketep ke Jogja. Mereka berdua mengurusku selama lima hari ini. Saat perjalanan menuju rumah sakit, aku mengalami kejang seperti saat pertama kali masuk ke rumah sakit di Belanda.
Eyang Sri ingin menghubungi seseorang yang ada di handphoneku. Sayangnya handphoneku mati dan eyangpun tak tahu apa password handphone ini. Akhirnya, eyang dan kakung mengurusku dan memberikan semua berkas medis yang sempat aku tunjukkan kepada mereka. Karena Prof Irfan belum kembali, aku dialihkan kepada dokter bedah saraf yang lain. Dan kini, aku duduk di atas kasur ini, menunggu observasi dokter terkait apa tindakan yang harus diambil segera.
“Widuri? Ternyata benar ini kamu!” Dokter visit yang masuk itu merusak lamunanku. Aku mengenal suara itu.
“Setia?” ujarku mencari name tag-nya.
“Kenapa kita bertemu seperti ini sih Wid?” ia mendekat dengan raut iba yang tak biasa. Tangisku pecah.
“Aku dokter yang akan menanganimu. Prof Irfan menghubungiku dan memintaku meng-handle kasus ini.” Setia itu menunjukkan hasil MRI dan CT Scan terbar.
“Positif CSF Rhinorrhea dengan meningitis dan encephalitis. Sepertinya karena pengobatan untuk CMVnya belum tuntas, jadi sisa paska operasi setahun yang lalu, masih bisa berulang. Dan satu lagi Wid, seperti dugaan Prof Irfan dari hasil pemeriksaan di Bandung. Dalam hasil ini tim kami mengkonfirmasi kembali dan setuju, kalau memang di daerah sini, terdapat tumor,” jelas Setia terbata. Tiba-tiba dadaku sesak, tapi aku harus tetap berusaha untuk tenang dan terlihat tegar menerimanya. Eyang Sri merangkulku lembut.
“Jadi, mau nggak mau kita harus segera melakukan tindakan operasi Wid, untuk mengangkat tumor dan melakukan tindakan mengurangi peradangan di otakmu. Jika tidak diambil, kami khawatir ini akan membahayakan keselamatanmu. Ah, aku benci situasi ini!” ujar Setia, teman lama yang sudah tak lama saling bertukar sapa.
“Kapan?” tanyaku lemas.
“Mungkin 3-4 hari lagi, bagaimana? Nanti kami akan jadwalkan. Dan sebelum operasi, ada beberapa persiapan dan administrasi yang harus di urus. Intinya, jika kamu optimis, insya Allah kamipun bisa berusaha melakukan yang terbaik. Mungkin itu dulu ya Wid! Nanti perawat yang akan membantu mengurus semuanya, oke ya?” Setia menepuk pundakku lembut, dia berlalu meninggalkanku. Tampak wajahnya menahan sendu atas pertemuan kami yang sungguh tak mengenakkan ini. Setelah belasan tahun tak bertemu, aku ditakdirkan akan menjadi pasiennya di atas meja operasi.
---