Kakiku benar-benar lemas, rasanya lutut ini mau lepas, ketika berkali-kali kami zoom in dan zoom out, dan Pram pun yakin kalau perempuan dalam gambar itu kemungkinan besar adalah Widuri. Pram meminta petugas itu menuliskan lokasi kamar yang dimasuki oleh orang yang diduga Widuri itu. Sedangkan aku, dadaku terasa sangat panas dan kepala mulai berat. Mengapa Widuri masuk ke salah satu kamar inap di rumah sakit ini? Dan dia dipapah oleh seorang nenek dan kakek yang sepertinya resah menunggunya yang belum balik ke kamar. Apa Widuri sakit? Apa Widuri meninggalkan pernikahan itu, karena…, ah, ada apa ini Wid? Kenapa semua terasa begitu membingungkan untukku?
“Mas Bima, sepertinya kita harus segera ke kamar ini!” Pram menunjuk alamat kamar lokasi terakhir Widuri satu jam yang lalu. Aku mengangguk dan memaksa kaki ini untuk berjalan sedikit lagi menuju Widuri. Tepatnya, menemukan Widuri untuk kesekian kalinya.
Selama perjalanan ke kamar itu, memoriku akan Widuri terputar acak di dalam otak. Kaki yang lemas tadi ternyata sekarang bisa sesekali berlari mengikuti langkah Pram yang tak sabar membuktikan kalau perempuan itu benar-benar Widuri. Setelah kami sampai pada tujuan yang dituliskan itu, aku sejenak berhenti. Aku menahan Pram, seakan-akan aku tak kuat melihat kenyataan yang ada. Aku tak kuat jika pada akhirnya aku tahu, kalau alasan Widuri meninggalkanku adalah karena dia sedang sekarat dengan penyakitnya.
“Pram, saya duduk dulu,” ujarku mencari tempat untuk duduk.
“Mas, ayo kita lihat? Mas Bima kenapa? Justru ini saatnya untuk kamu bisa melihat, bahwa ternyata Mbak Widuri enggak ke mana-mana mas! Apakah kamu nggak mau tahu kondisi dia?” Pram menarik tanganku.
Tiba-tiba keluar seorang nenek dari kamar itu. Nenek yang sama yang kami lihat di CCTV. Beliau keluar membawa syal dan aku tahu syal itu adalah milik Widuri.
“Nek!” panggil Pram mendekat. Beliau menoleh dan menghentikan langkahnya.
“Iya,” ujar nenekku sambil berusaha mengenali kami.
“Permisi, benar di sini…,” Pram menatapku dan si nenek. Mata nenek itu tidak lepas memandangku. Beliau mendekat dan menyentuh wajahku yang dipenuhi brewok yang semakin lebat ini.
“Kamu tambah gagah dengan rambut-rambut ini!” ujar beliau sambil tersenyum.
“Maaf nek, apakah saya kenal nenek? Atau nenek kenal saya?” tanyaku terbata.
“Kamu Aditya Bima kan? Kamu persis dengan gambar terakhir yang dia buat.” Nenek itu mengeluarkan sebuah kertas dari saku sweaternya. Ada kertas yang terlipat, beliau perlahan membukanya. Dan itu adalah sketsa wajahku. Di bawahnya tertulis “Sampai kapanpun, aku akan terus mencintaimu Dit!”
Pram menepuk pundakku sebagai tanda bahwa yang ada di dalam adalah benar-benar Widuri. Aku berjalan perlahan menuju pintu kamar itu sambil menggenggam sketsa yang dibuat Widuri. Aku ingin menemuinya meskipun sebenarnya ini semua sudah membuatku terlalu lelah. Takdir apa lagi ini? Aku lelah jika harus terus dipaksa mencari dan menemukanmu Wid! Tapi untuk kesekian kali takdir mempermainkan kita. Dan kini, kita dipertemukan lagi.
“Bima, Widuri tidak ada di dalam!” ujar nenek menyusul langkahku.
“Maksud nenek?” tanyaku dengan perasaan yang mulai campur aduk.
“Dia baru saja masuk ruang operasi. Tadi sudah di bawa perawat.” Mataku rasanya terpanah, operasi apa?
“Nek, Mbak Widuri operasi apa?” tanya Pram mewakili.
“Pengangkatan tumor di kepala!” aku terduduk. Kaki ini benar-benar lemas seketika.
---