Langit senja itu tampak tak bersahabat. Sejak Alya masuk kelas jam empat sore, rona langit berubah semakin muram, seolah mengabarkan sesuatu yang gelap. Seperti saat Juliet menemukan Romeo tak bernyawa di hadapannya—mata yang terbuka, tetapi tidak melihat. Alya tak mengerti mengapa pikirannya melayang ke kisah tragis itu; mungkin karena suasana senja ini lebih menyerupai akhir sebuah tragedi daripada sebuah peralihan hari yang damai. Di langit, warna kelabu beradu dengan merah yang menyala. Apakah langit tengah memperingati kematian sepasang kekasih legendaris itu? Alya tak tahu, tapi ia merasa ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang salah. Di kelas, tak ada angin, tak ada hujan. Tak ada teman-teman yang biasanya sudah memenuhi kursi sebelum pelajaran dimulai. Hanya ada Alya dan Ustadz Naufal. Namun, ada yang aneh. Ustadz Naufal hanya duduk diam, tegap, dan menatap ke arah Alya. Atau… apakah ia benar-benar menatap? Mengapa matanya begitu kosong?Jantung Alya berdegup kencang, napasnya memburu. Ia mencoba tetap tenang, namun pandangannya tertuju pada sesuatu di luar jendela, di balik punggung Ustadz Naufal. Sebuah benda bulat, merah, seperti darah, bergerak perlahan namun mematikan yang Alya taksir itu adalah bulan. Ya, ia yakin sekali itu adalah bulan yang–berselimut darah. Bulan berdarah itu semakin mendekat, hampir menyentuh dinding luar madrasah. Ingin rasanya Alya berteriak, menyerukan suara lantangnya seperti biasa, namun suaranya tercekat dan bibirnya terkatup rapat. Kemudian, sayup-sayup diantara desir angin diluar sana, Alya mendengar seseorang tengah memanggil namanya.
"Alyaaaa! "
Suaranya terdengar jauh, ia menoleh namun tak menemukan siapapun disana. Kelas itu masih sama seperti saat ia baru masuk tadi. Hanya ada ustadz Naufal yang sudah duduk tegap di kursi guru.