PUKULAN sendok pada badan mangkok secara berulang menghasilkan nada khas di antara himpitan tembok dan rumah-rumah. Ia menggema, memanggil mereka yang lapar atau sedang ingin menikmati adonan daging bulat berkuah di sore hari. “Bakso… bakso….”
“Pak! Mau bakso, Pak!” teriak seorang anak perempuan yang ikut menggemakan suaranya dari dalam rumah.
Tubuh setinggi lutut orang dewasa itu berlari kencang, rambut bergelombangnya melambai-lambai di udara, kedua kaki kecilnya menempel di lantai ambang pintu. Satu jari telunjuk terus terayun ke atas, menunjuk tukang bakso yang kebetulan berhenti di depan rumah mereka melayani panggilan tetangga.
“Mau makan bakso, Pak! Devi mau bakso!”
“Kamu panggil saja dulu, minta tunggu. Bapak mau ambil uang,” sahut pria dari ruang tengah. Dia bangkit mengambil selembar uang dari dompet, menyusul sang anak yang melompat-lompar tak sabaran.
Si Anak Perempuan riang, dia tersenyum lebar menampakkan gigi-gigi rapih kecuali satu di tengah-tengah—bolong membentuk jendela. Melompat senang, si Anak Perempuan mendekati penjual bakso keliling. “Om, tunggu, Om! Aku mau beli bakso. Bapakku sebentar lagi ke sini,” pintanya menahan si Penjual Bakso.
Pria yang berada di sekitaran usia empat puluh tahunan tersebut mengangguk mantap. “Iya, Dek. Om belum mau pergi.”
“Bungkus tiga ya, Mas. Cabainya dipisah.”
“Baik, Pak. Tunggu ya, Dek.”
Devi mengangguk kuat, sangat kuat sampai kedua pipi berisinya bergetar.
Tangan-tangan lihai itu bekerja, seperti menjalankan sistem yang terorganisasi sejak puluhan tahun lalu. Memasukkan bahan secara cepat tanpa ada yang terlewat. Berdasarkan perhitungan pengalaman, kira-kira dalam setiap pengambilan bahan ke wadah mangkok berlapis plastik putih nyaris sama, porsi setara.
“Permisi, apa benar ini rumahnya Pak Amirrudi?”
Pemilik nama menoleh, lantas mengangguk. “Benar, Mas. Saya sendiri.”
Pria berseragam eksklusif pengantar paket menyerahkan kotak berukuran sedang. “Ini ada titipan, Pak. Dari … Malik.”
“Oh, terima kasih.”
“Sama-sama, Pak. Saya permisi, assalamualaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Amirrudi memutar-mutar paket, penasaran apa isi di dalamnya.
“Agak berat,” komentarnya sebelum menyerahkan selembar uang kepada si Penjual Bakso.
Penjual Bakso menerima, menyerahkan kembali beberapa lembar sambil mengalihkan tumpukan tiga bungkus bakso ke tangan Amirrudi. Dia tersenyum ramah, kekehannya terdengar saat Devi menunjukkan antusiasme secara berlebih. Sebagai penjual, si Penjual Bakso tentu gembira mendapatkan pembeli yang demikian bersemangat untuk menyantap jualannya.
“Terima kasih, Pak.” Si Penjual Bakso kembali mengetuk-ngetukkan sendok, menoleh ke kiri dan kanan, menanti barangkali ada pembeli baru menyusul. Sadar tidak ada yang memanggil apalagi datang, dia menaiki motor dan menjalankan mesin.
“Mana Mama, Pak? Panggil Mama makan bakso, Pak!”
“Mama masih tidak enak badan, Nak. Devi makan duluan aja, nanti Bapak yang antar bakso Mama ke kamar.” Amirrudi meletakkan paket ke atas meja dan mulai memindahkan bakso ke dalam mangkok bersih.