KALENDER tahun kemarin menjadi taplak botol oli motor, sebagian nomor-nomor tertutupi noda oli—menghitam, hanya bagian belakang tahun yang terlihat—sembilan puluh enam. Bising perkakas saling berbenturan terus terdengar: tang, obeng, kunci pas, kunci ring, mengetuk satu sama lain saling berbaris tak rapi di pinggir jalan. Sebagian diperlukan, sebagian dibiarkan menganggur, sebagian lain digenggam tetapi tidak digunakan.
“Suka motor, Dek?” Pria di pertengahan empat puluh menyeka peluh, menempelkan cairan hitam pekat nan lengket di pelipis.
“Cantik-cantik ternyata suka otomotif,” sambut remaja lain tersenyum malu. Wajahnya bersih, tangannya kotor dengan kuku-kuku panjang.
Rusmana tersentak dari fokus. “Eh? Tidak juga, Om. Aku cuman suka lihat, tapi tidak pernah naik motor, tidak punya.” Kedua sudut bibir terangkat, sedang mata itu menyipit karenanya.
Pria tua yang tengah memperbaiki motor di pinggir jalan yang tampaknya merupakan aksi dadakan itu angguk-angguk kepala. Lanjut memasang badan motor yang dia lepas, merakit kembali. “Tidak masalah kalau cewek suka otomotif. Asal kau tahu, mereka bisa jauh lebih telaten dari kau-kau semua.”
Mendengarnya Rusmana merasa dipuji, padahal dia belum pernah membedah kendaraan apa pun. Sayang sekali, aksi tersipu itu tak berumur panjang. Remaja si pemilik motor menerbitkan pertanyaan yang—untuk kedua kalinya—menyentak Rusmana dari fokus terhadap kejadian di hadapan.
“Kakaknya dari mana mau ke mana?”
Dari mana mau ke mana? ulang Rusmana dalam hati.
Dari mana mau ke mana….
“Astaga!” kaget Rusmana. Kepalanya celingukan, menoleh kiri dan kanan, depan dan belakang. Tidak ada satu orang pun yang dia kenal. Kendaraan yang lewat di sana tidak memuat mereka yang membersamai kedatangan Rusmana di Tanjung, salah satu kota di Borneo tersebut.
“Kenapa, Dek?”
“Aduh, Om. Duluan, ya. Kayaknya aku ditinggal Mama sama adekku. Permisi!” pamit Rusmana sebelum angkat kaki. Dia bahkan tidak tahu harus berlari ke mana, tetapi ingatan dan rasa akrabnya membawa ke tempat yang setidaknya pernah dia datangi beberapa kali.
Hanya saja, Rusmana tidak begitu mengenal jalan. Seperti selalu ada gang baru, toko baru yang semestinya dijadikan sebagai patokan, atau terminal perahu baru. Kepanikan merebak, gadis itu kebingungan harus mengambil jalan yang mana.
“Ke mana ini? Mama sama Sapardi bisa-bisanya tinggalkan aku sendiri.” Rusmana ingin menangis, bibir mengerut, alis tertaut.
Akibat fokus terbagi, pikiran bercabang, tubuh jauh dari kata siaga, Rusmana tersungkur dan sebuah sepeda bersama pemiliknya ikut jatuh. Besi rangka sepeda yang menghempas jalan menarik perhatian beberapa pejalan kaki. Mereka hanya memandang tikungan di tepi sebuah toko pakaian dekat jalan raya, tidak membantu karena beberapa alasan: tidak melihat adanya urgensi, kedua remaja itu tak terluka, tak ada yang meminta tolong, jarak mereka terlalu jauh—terlalu malas untuk mendekat.
Rusmana mengaduh, pinggangnya sakit, telapak tangannya tergores.
“Kalau di jalanan jangan celingukan! Tertabrak jadinya.” Remaja lelaki itu membentak kesal. Mereka terlihat seumuran. Dia bangkit memapah sepeda, menurunkan standar dan memarkirkannya, lantas mengumpulkan tiga bungkus saus tomat dan satu jeriken minyak makan yang terlempar dari keranjang sepeda.
“Untung tidak bocor. Kalau sampai bocor, kau yang kusuruh ganti.” Remaja itu melirik Rusmana melalui ujung mata, perempuan itu sudah berdiri dan menunduk. Rambut sepanjang bahu yang terurai sesekali diajak menari oleh angin.
“Maaf, aku tidak sengaja,” lirih Rusmana nyaris tidak terdengar.
“Makanya jalan lihat-lihat. Kau kira ini jalan punya nenekmu? Coba saja yang menabrak motor atau mobil, habis kau.”
Rusmana merasa femilier. Dia mengangkat kepala benar-benar, mengamati wajah remaja lelaki yang tengah memindahkan saus tomat ke keranjang sepeda. Bukan hanya orangnya, sepeda itu tidak asing. Rusmana ingat dia pernah melihatnya dua atau tiga kali di tempat yang sama, di tempat yang hendak dia tuju.
“Kau anaknya Tante Masniah, ‘kan? Kalau tidak salah namamu … Amirrudi?”
Sasaran pertanyaan berdeham singkat tanpa menatap pemberi pertanyaan.
“Kukira aku salah lihat! Bisa antar aku ke tempat mamamu, tidak?”
“Kenapa harus aku? Kau tinggal jalan ke sana.” Kepala anak dari Masniah itu mengarah ke tepian sungai. Tujuan Rusmana memang di tepian sungai, tetapi bukan di tempat yang Amirrudi tunjuk. Di sisi lain tepian sungai yang Rusmana tak begitu hapal lekukannya.
“Andai aku bisa, pasti kita tidak tabrakan. Mungkin sekarang aku sudah sampai ke sana. Aku sudah berbulan-bulan tidak ke sini, jadi rasa-rasanya banyak berubah. Rumah orang-orang tidak sama lagi, banyak toko baru, terminalnya juga aneh.”
Amirrudi menoleh, seraya mengangkat satu alis singkat. Dipandangnya celana dekat tumit Rusmana yang kotor. “Ikut aku.” Dia mengangkat standar sepeda, lalu mendorong dari samping perlahan, memastikan perempuan yang membuntuti tak tertinggal jauh di belakang.