Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #3

2 | Barimbang

BANGUN pagi usai malam panjang yang dilanda hujan lebat, membuat sedikit banyaknya manusia-manusia sekitar enggan beranjak dari tempat tidur hangat mereka. Aroma tubuh yang masih melekat, selimut yang setia membalut tubuh di baliknya, hingga jejak pulau kecil pada bantal yang masih segar menjadi keadaan lumrah.

Rusmana mengerang, sesuatu mencoba menariknya dari alam mimpi.

Mimpi yang masih melekat, bayangan dan bisikan yang seakan perpaduan dari dunia mimpi juga dunia nyata terbang melayang-layang dalam kepala. Pada suatu deretan perumahan guru yang ditempati beberapa penduduk sekitar—tidak hanya diperuntukkan bagi pengajar, bangunan kayu yang luasnya tiada seberapa menampung beragam jenis anggota keluarga. 

Di antaranya ada sepasang suami istri yang tanpa anak, pasangan baru menikah yang dikerumuni oleh kabut asmara, suami istri yang bekerja sebagai guru di sekolah yang letaknya hanya beberapa kaki dari kediaman, hingga seorang janda berambut hitam legam yang memiliki tiga anak.

Siti Rusmana, menjadi anak paling tua di keluarga dalam pimpinan seorang wanita yang menggenggam usia tiga puluh enam tahun, Siti Rabiah. Rusmana memiliki dua adik laki-laki yang jaraknya tak begitu jauh, masing-masing satu tahun: Hamid Malik dan Sapardi. 

Sungguh indah keluarga itu, dua perempuan memimpin dan dua laki-laki melindungi. Siti Rabiah yang adalah seorang ibu, sebuah kepala dari keluarga lihai mengemban tugas sebagai ketua. Siti Rusmana si perempuan nomor dua yang berada di atas kedua adiknya dan berada di bawah ibunya, menjadi tangan-tangan. Sedangkan Hamid dan Sapardi layaknya kaki kiri dan kanan yang bertugas sebagai penunjang kelangsungan hidup keluarga mereka.

Pada hari ini, rumah yang berada di nomor tiga dari dua pasang perumahan yang ada, tidak sedang melindungi anggota keluarga secara lengkap.

“Mana Mama?” Rusmana bangun tanpa menyingkap selimut, dia setia melilitkannya ke tubuh.

Suhu pagi ini amat menusuk dan mencengkeram tulang, seolah dinginnya tengah merangkak memasuki sendi-sendi.

Rupanya Rabiah menjadi manusia yang bangun paling awal di rumah itu. Dia berdiri di belakang jendela, memeluk tubuh sendiri. Bersama pandang yang tak lepas, Rabiah bersuara, “Bagaimana kabar adikmu ini, Rus? Hujan tadi malam lebat betul. Sampai tidak bisa tidur aku.” 

Rabiah cemas. Sebagai seorang ibu, tiada hal yang lebih penting di dunia ini melainkan keselamatan anak-anak mereka dalam pekerjaan yang tengah digeluti. Rusmana mendekat, dia bergabung dalam aksi memandangi luar jendela yang masih ditutupi kabut. 

Menunggu sebuah kabar kabur, entah dari kenalan yang baru pulang sehabis menjala ikan di dua hingga tiga lokasi berbeda, mengumpulkan udang dari perangkapnya, menimbun pakis dari tepi-tepi sungai untuk kemudian diikat, atau yang masih bangun sejak dini hari dan menangkap sebuah bunyi mesin melewati sungai—apa saja.

“Kalau aku tidak salah dengar, tengah malam tadi ada suara ketinting lewat. Tapi tidak tahu itu si Hamid dan Sapardi atau orang lain. Takutnya mereka menghanyutkan kayu, tidak menghidupkan mesin di sini. Biasanya mereka suka begitu,” Rusmana menyampaikan jawaban atas hasil pendengaran-tengah-malamnya.

Bersama rambut yang diikat sekenanya, beriring napas yang dilepaskan risau, Siti Rabiah berpaling dari jendela. “Mungkin itu adik-adikmu.”

Rusmana mengedikkan bahu, dia ragu. “Mungkin.” Ingatan membawanya kepada risiko dari setiap pekerjaan itu nyata.

Hamid dan Sapardi dalam satu jenis pekerjaan: menebang pohon di hutan. Menjadi warga yang tinggal di kampung pedalaman Borneo yang kerimbunan hutannya luar biasa, menabalkan sebagai mata pencaharian. Memanfaatkan apa yang alam berikan sebaik mungkin. Mewujudkan bahwa suatu hal yang liar, yang sifatnya kaku, yang pergerakannya lamban, bisa saja diubah menjadi barang berguna bagi banyak orang.

Dari kehadiran hutan yang lebat inilah Hamid, Sapardi, juga beberapa penebang lainnya menyusuri sungai dan mencari tempat di mana pohon-pohon menjulang tinggi—atau sesuai keperluan. 

Sejenak Rusmana mengingat prosesi pengambilan batang pohon secara singkat: pepohonan ditebang untuk kemudian dipotong pada ukuran tertentu memperkirakan panjangnya rata-rata untuk papan atau tiang rumah. Lalu dikumpulkan menjadi satu—biasanya mereka menggunakan teknik kuda-kuda atau sistem kuda-kuda untuk membawa kayu-kayu turun dari tengah hutan ke tepi sungai, di mana kayu diletakkan di jalur kuda-kuda yang lebarnya sekitar tiga hingga empat meter dan dibuat dengan cara menumpuk secara melintang di kayu-kayu berdiameter kecil, lalu kayu yang akan diseret atau ditarik biasanya diikat oleh simpul dan memerlukan enam hingga lebih orang di satu kuda-kuda. 

Namun, karena jalur yang diperlukan biasanya panjang, terkadang beberapa warga memikirkan beragam cara untuk meminimalisir penggunaan jalur kuda-kuda. Pada beberapa kondisi juga, para penebang akan menggunakan teknik pikul, paling sedikit dua orang—kemudian diikat dan dibiarkan mengambang di atas sungai apabila tingginya telah pas.

Waktu incaran pelangsir ialah saat sungai banjir, ketinggiannya sangat cukup dan arus yang kencang memudahkan penghanyutan tebangan ke tempat tujuan diiringi oleh perahu. Jikalau arus tak cukup deras, mereka akan menarik menggunakan perahu, sekadar memancing pergerakan.

“Bukannya aku tidak senang sama pekerjaan adikmu ini, aku percaya sama mereka. Tapi tetap jua aku takut. Bukan mudah mencari pohon di hutan, ditebang, terus dibawa turun ke sungai,” ujar Rabiah meluapkan keresahan.

“Tenaga yang dipakai besar, apalagi kalau hujan begini. Hutan licin, pohon jadi berat. Sungai pasti banjir, arusnya deras.” 

Rusmana masih menonton kejadian senyap tanpa gerak di depan rumah melalui jendela yang tak pernah dibuka. Tiap dorongan napas membentuk embun di permukaan rata kaca jendela. Dia membatin, pekerjaan mereka memang se-berisiko itu, dari berangkat sampai pulang. Entah masalah di sungainya atau di hutannya, atau malah antar sesama penebang.

Rusmana teringat kasus beberapa penebang yang meninggal tertindih pohon tebangannya sendiri. Bermodalkan mesin penebang, pakaian panjang, dan bekal—wajar jika lalai, nyawa langsung terbengkalai. 

Lihat selengkapnya