Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #4

3 | Karang Taruna

RUSMANA merasakan angin bertiup, pepohonan berdenyut, pijakan meringis. Berada di antara kedua sepupu, dia melirik Sari dan Maya bergantian begitu lewat selangkah dari Pohon Barangin di puncak Gunung Barangin. Angin yang melekat pada kedua nama tersebut bukan tanpa alasan, akan selalu ada tiupan setiap melewatinya bahkan ketika itu tak ada setitik debu melayang. Hanya di sana, Pohon Barangin yang menduduki singgasananya—Gunung Barangin—mampu menggerakkan dedaunan di saat daun hijau dan cokelat lain memaku di tempat.

Pohon Barangin merupakan pohon wanyi raksasa yang sudah hidup berpuluh-puluh tahun lewat. Tinggi menjulang, perlu kiranya enam orang dewasa demi memeluk batang pohon itu. Tetapi tidak pernah ada yang benar-benar mencoba menghitung diameter pohon, kepalang takut, pulang-pulang pasti sulit bangun dari kasur dan baring berhari-hari.

Sebuah peraturan tak tertulis pernah disampaikan, “Gunung Barangin itu angker dan punya penjaga. Kalian yang lewat harus tenang, jangan bikin ribut apalagi sampai berbicara tidak pantas atau tidak sopan. 

Usahakan omong yang baik-baik, jangan sampai mengungkit apa-apa tentang Gunung Barangin apalagi rajanya: Pohon Barangin. Diam lebih baik. Ingat, berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa, meminta perlindungan selamat sampai tujuan. Mudahan kita tidak diganggu, kita cuman numpang lewat untuk cari uang.”

Bisik-bisik, ada yang pernah melihat si Penjaga, berdiri mematung di Pohon Barangin dan terus menatap siapa saja yang lewat sampai kepalanya terpelintir. Ada pula yang berkata tepat di tengah-tengah jalan di puncak gunung, si Penunggu akan berdiri dan membaui badan mereka. Jika si Penunggu tidak suka baumu—yang kepekatan bau berdasarkan kepekatan tabiat buruk—maka dia akan menempelkan rambutnya kemudian tubuhmu akan terasa panas dan gatal-gatal seminggu penuh. 

“Masih sepi betul,” komentar Maya.

“Yang di perumahan belum bangun mungkin. Dingin-dingin enak tidur.” 

Rusmana memandangi gerbang masuk. Walaupun terlihat belum ada pekerja yang datang, sekuriti sudah berdiri membukakan gerbang.

“Kau kenapa, Rif?” tanya seorang wanita dengan nada panik.

Pria yang berumur dua puluh tahun di belakang Rusmana menggeleng, tetapi tatapannya terlalu kosong, wajah itu pucat pasi, sepatunya—yang robek menjadikan dua jari mengintip dari dalam—bagai terpaku di tempat. 

Rusmana buru-buru menoleh, aura yang menyebar di sekitar mendadak aneh. Dingin yang mestinya biasa, berubah tak biasa. “Kenapa?” bisiknya menjuru ke siapa saja.

“Kau kenapa, Rif? Mengapa begitu mukamu?” Rabiah maju, menguncang bahu Arif. Dia terkejut merasakan kulitnya sangat dingin.

“Hih! Dingin betul badannya. Keteguran kah?” Rabiah meminta yang lain memeriksa, memastikan taksirannya tak salah.

Berbondong-bondong mereka maju, memeriksa suhu tubuh Arif, memancing perhatian Arif. Namun, pria itu tidak memberi reaksi berarti selain bengong. 

“Astaga! Kena sudah dia ini.”

“Iyakah? Bagaimana?”

“Di kamp ada si Tamrin ‘kan? Kita bawa ke sana saja, biar dia yang periksa. Pasti kena di Gunung Barangin tadi.”

“Pantas dari tadi tidak kudengar suaranya, padahal dia rajin bergurau.”

“Cepat, cepat. Bawa!”

Mereka meminta teman sebaya Arif membawa pria itu ke perumahan di Persemayan. Di sana ada seorang yang mereka andalkan dalam pengobatan masalah astral. Sekuriti segera mengambil motor, bonceng tiga dengan Arif di tengah.

Masing-masing yang tidak ikut mengantar Arif meletakkan perbekalan ke tempat peristirahatan, mereka berkumpul sejenak untuk merehatkan badan dan riuh oleh keingintahuan apa penyebab sikap aneh Arif barusan.

Rusmana menarik dua hingga tiga napas usai meniti satu jam perjalanan. 

“Sudahkah kau? Aku mau ke sana sekarang. Tidak lama Mandor Ika patroli,” tanya Rabiah.

Rusmana mengangguk. Dia sudah cukup beristirahat dan takkan mungkin menunggu sampai mendengar kabar terbaru Arif.

Meregangkan otot-otot betis yang kaku, Rusmana membuntuti Rabiah bergerak ke wilayah penyemaian bibit Akasia. Satu demi satu mereka mengambil tempat, memenuhi pekerjaan: mengambil bibit, memasukkan tanah yang telah diolah ke dalam media tanam, penanaman bibit, perawatan bibit. Semua dijalani sepenuh hati, kepalang penuh malah.

“Kudengar bapaknya Romi hendak bikin acara tujuh belasan nanti.” Maya memasukkan bibit ke lubang tanah yang dibentuk menggunakan batang kayu.

“Iyakah? Sudah lama kampung kita tidak mengadakan lomba. Mau bikin lomba apa saja nanti?” tanya Rusmana tertarik. 

“Balap karung, tarik tambang, bola kaki, sama pancing botol,” sebut Maya seraya mengangkat satu demi satu jarinya.

Seseorang menambahkan, “Ada hadiah istimewa di satu permainan—yang tidak kamu sebutkan—nanti.”

Rusmana dan Maya serentak menggeser arah pandang, menuju Noviyanti, teman sebaya mereka. “Hadiah istimewa apa? Permainan apa?”

Noviyanti tersenyum ganjil. “Masih rahasia. Tapi kita diminta belanja keperluan lomba.” Dia menaik-turunkan alis.

Rusmana menerjemahkan raut senyum-ganjil dan alis-naik-turun Noviyanti sebagai tanda akan terjadi hal menyenangkan. “Curiga aku bah. Dua tahun sudah Om Muslimin tidak buat acara tujuh belasan karena kekurangan dana. Aku penasaran rahasiamu itu.”

“Banyakkah suntikan dana ini? Kayaknya kau kelihatan senang betul, Nov.” Maya ikut curiga.

Noviyanti tak lagi tahan, dia tertawa senang sambil menggoyang-goyangkan badan. “Aku tidak sabar! Pokoknya kalian tunggu saja, kujamin bakal seru! Permainannya bukan empat itu saja.”

“Ada lain lagi?”

Maya terus mendesak. Noviyanti kukuh pada pendiriannya sejak membeberkan informasi menarik tetapi menolak memberitahu. Sudah menjadi tabiat menggantung teman-teman di ambang penasaran, sementara si Pelaku cengengesan.

Bibir Maya manyun. “Iya sudah, memang begitu kerjaannya keponakan Kepala Kampung, Rus. Mentang-mentang sudah dapat bocoran, kita dikasih tahu setengah-setengah. Bilangnya lomba bakal seru, dianya tidak seru.”

Rusmana mengulum senyum menanggapi aksi merajuk Maya. Dia memandanginya beringsut menjauh. 

Puas akan perbuatannya, keponakan lurah itu terbahak. “Biar makin kerasa senangnya begitu kalian tahu nanti. Misal kubisikkan sekarang, tidak hebohlah jadinya. Sebentar lagi, mungkin sepulang kita kerja atau besok pagi kalian sudah dengar.”

Lihat selengkapnya