Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #5

4 | Untung Tak Ada Buaya

MUKA Arif merengut, merasa sangat terpukul. “Aduhai, tega benar kau ini, May. Apakah ada jantan buntung yang sedang melukai hatimu? Mentang-mentang sudah bisa bawa ketinting, langsung kaubuang aku. Seperti pria-pria gagah di kampung ini tidak ada harga dirinya lagi. Atau gara-gara aku keteguran?”

“Tidak ada urusannya sama keteguran,” balas Maya ketus.

Dodi menepuk bahu kawan akrabnya tersebut. “Bung, mari kemas bajumu, banyak tempat perantauan yang bisa kita tuju. Wanita-wanita jelita di sini tidak lagi memerlukan kejantanan kita.” Dia menggelengkan kepala dramatis.

“Pelabuhannya dekat sekali dari sini, lawan saja arus, kalian akan sampai di muara sungai. Mengembaralah!” usir Maya mengibaskan tangan.

Hapsah terbahak, merasa terhibur pada aksi olok-mengolok para remaja di hadapannya. “Ada-ada saja kalian ini. Sudah, sudah. Terserah mau minta diantar Arif atau Maya sendiri yang jalankan ketinting. Suka-suka kalian, yang penting tidak kesusahan apalagi merepotkan orang lain nanti di sana.”

“Iya, Bu.”

Rusmana ikut memisahkan diri, menaiki rumah yang telah lebih dahulu dimasuki oleh Rabiah. Dia menceritakan permintaan Hapsah, lantas Rabiah mempersilakan, dia senang saja anaknya berkegiatan.

“Asal kau tidak capek, ikut saja.”

“Iya, Ma. Cuman selama masa Agustus-an ini, tidak seberapalah capeknya. Masih bisa kutahan.” 

“Hm, yang penting kau memang mau. Ikutlah.”


ESOK harinya peran Arif benar-benar tidak dibutuhkan, hanya para gadislah yang mengangkat kaki paling awal dari tempat kerja. Banyak yang bertanya-tanya, banyak yang iri. Sari menunjukkan karakter menyebalkan kepada para buruh yang memandangi mereka, tidak peduli tua maupun muda.

“Daku pulang duluan, kalian jangan iri!” Sari melambai-lambaikan tangan ala artis baru naik daun.

“Enaknya kalian pulang duluan!”

“Mau ke mana kalian?”

“Siapa yang iri?!”

Sedang buruh yang jauh lebih tua dari mereka hanya tersenyum dan tertawa kecil menonton para gadis remaja itu saling mengejek. Mereka bertanya, tetapi tidak dalam rona protes apalagi iri. Bagi para pekerja lama atau yang lebih berumur, cepat-cepat pulang bukan incaran mereka, sebab bayaran akan berkurang.

Sari tertawa dramatis bak antagonis dalam film. Rusmana menarik lengan sepupu jailnya itu kemudian segera menjauh dari gerbang Persemayan. 

“Sudah. Kau jangan senang dulu. Kita dikasih izin pulang pas matahari di atas kepala, menyengat betul! Mungkin sekarang kita masih bisa jalan di pinggir-pinggir, nyari celah berteduh. Tapi pas kita di perahu? Jadi daging bakar kita.”

Ucapan Rusmana membumihanguskan senyum semringah Sari seketika. “Aish, tai kucing!”

Maya menahan senyum. “Makanya, jangan sombong duluan.”

“Kalian ini kayak orang miskin saja,” celetuk Noviyanti di samping Rosita. “Ada yang namanya payung. Kita bawa saja payung biar tidak hangus.”

Raut muka Sari berubah drastis, kembali semringah. “Nah! Betul, pakai payunglah. Eh, tapi aku tidak punya payung.”

“Tudung,” timpal Rusmana.

Rusmana, Maya, Noviyanti, Sari, dan Rosita berkumpul di tepian dekat jembatan, mereka telah berganti pakaian dan membawa alat pelindung dari terik matahari masing-masing. Rusmana menggunakan selendang, Maya memakai tudung, Noviyanti membawa payung, Sari memakai tudung, dan Rosita mengenakan selendang merah.

Maya bertanya, “Pakai perahu siapa?”

Mereka yang mendengar memaku di tempat, saling berpandangan. 

“Eh, belum ada yang tahu mau pakai perahu siapa? Kukira pakai perahumu, May!” heboh Noviyanti menggelar payung, panas mulai mencakar wajah.

Maya menggeleng sambil tersenyum kikuk. “Sejak kapan aku punya perahu? Aku belajar bawa perahu saja pakai punya pamanku.”

“Aduhai. Ayo, pinjam perahu Paman Muis,” pinta Noviyanti.

“Dia ke Muara Sinam, besok baru pulang.”

“Terus bagaimana?”

Maya mengedikkan bahu.

Gadis-gadis itu menyadari kurangnya persiapan. Terlalu fokus pada pembendaharaan, aturan lomba, dan konsumsi kelak, sementara sarana mencapai semua itu terlewat. Rosita menatap Rusmana, dia bersuara setelah sekian lama mengunci mulut.

“Rus,” panggilnya menarik perhatian pemilik nama. “Hamid tidak menebang ‘kan, hari ini? Kayaknya kita boleh pinjam perahunya sebentar.”

Rusmana mengalihkan pandang pada perahu sang adik. 

Maya berseru, “Nah, betul! Pinjam perahunya Hamid.”

“Aku tanya bentar.” Rusmana berlari kecil menuju rumahnya. Tanpa disangka Rosita ikut berlari.

“Buat apa Rosita ikut?” tanya Sari.

“Biasa, pengin pendekatan sama Hamid. Semua saja dia dekati,” imbuh Maya memandangi kepergian Rusmana dan Rosita, sekilas dia merotasikan mata seraya melipat kedua tangan di depan dada.

Lihat selengkapnya