SEMENJAK tawaran Rosita menyambangi pikiran Rusmana, pertemanan mereka terjalin rapat. Rosita yang dahulu menempeli Rusmana sekenanya, seadanya, nyaris berada di sekitar kakak Hamid setiap hari. Tidak jarang Maya bertanya, membisiki telinga Rusmana bahkan ketika Rosita tak terlihat di sekeliling mereka.
“Rajin benar Rosita mendekati kau. Semakin yakinkah dia mendapatkan Hamid?” tanya Maya ketika itu.
Bukan cemburu, bukan pula posesif. Berdasar ketidakpercayaan Maya kepada Rosita akibat pernah dibohongi dahulu dan dibuat runtuh kepercayaannya, Maya meninggikan radar tiap menemukan Rosita. Dua tahun lalu, orang yang Maya sukai turut dirapati oleh Rosita, berdalih tak tahu jikalau lelaki itu disenangi oleh teman satu kampungnya, dia sekadar mengurangi kedekatan setipis helaian rambut yang kasar dan gatal. Karena tidak benar-benar menjauh, walhasil Maya yang menghempaskan perasaannya jauh-jauh.
Luka di tangan dapat diobat, luka di hati siapa tahu? Sungguhpun Maya sekali-sekali melibatkan diri dalam cakap-cakap di meja yang sama dengan Rosita, senantiasa kekesalan hati itu ada. Panjang benar umur kedongkolan Maya terhadapnya, sulit benar dia member maaf sepenuh jiwa. Sehingga pada tiap-tiap tingkah laku Rosita sebaik apa pun itu, acapkali dicurigai.
“Masih belum mau baikan?” tanya Rusmana sangsi Maya mengangguk.
Maya menggeleng. “Berat.”
“Soal Hamid, aku tidak tahu, sulit kupahami maunya. Jarang kulihat mereka main keluar, seringnya sama yang lain. Mungkin kurang yakin dengan Rosita.”
Banyak akal, Rosita selalu memiliki cara sendiri supaya Rusmana bepergian dengannya. Anak perempuan Rabiah itu tak begitu mempermasalahkan, selama tidak membuatnya terlibat masalah dalam bentuk apa pun itu. Berdalih ingin memberi ruang bagi Rusmana dan Amirrudi dekat, Rosita selalu menggali kesempatan membuntuti Rusmana.
“Tidak jahat, jangan memandangnya terlalu buruk,” timpal Rusmana mengenai pandangan Maya terhadap sikap Rosita. “Baik malah, dia tidak suka protes, kalau ada apa-apa terima saja, enteng berbagi. Cuman dia kalau pengin dekat, susah buat lepas. Dia cuman mau dekat sama Hamid meski terkesan memaksa.”
“Jadi kau senang saja dimanfaatkan Rosita supaya bisa dekat sama adikmu?”
“Selama tidak merugikan.”
“Jelas kau tidak merasa rugi, dia jodohin kau sama anaknya Tante Masniah. Kau suka-suka saja. Saling memanfaatkan.”
Sebagian ruang hati Rusmana merasa terganggu, selain nada bicara Maya terdengar menyindir, dia heran mengapa Maya sebegitu keberatannya dia berteman dengan Rosita. Kesalahan masa lalu itu, telah Rosita coba luruskan, dan pantas mendapat maaf. Tetapi Maya bersikeras pada keputusannya dua tahun lalu.
Celah kecil keretakan pertemanan Maya yang juga sepupunya itu membuat Rusmana tak nyaman. Geng yang selalu bersama, perlahan terpecah belah. Dia kesulitan menghitung perlu waktu berapa minggu atau bulan agar hubungan mereka serapat kemarin-kemarin dengan sendirinya.
Sebagaimana saat ini, ketika mereka diminta mencicil belanja hadiah lomba tujuh belasan terutama untuk panjat pinang, Maya mengusulkan agar mereka berbelanja secara terpisah, berpencar guna menghemat waktu katanya. Padahal Rusmana sadar maksud di balik usul tersebut, sebab secara lantang Maya memilih Sari dan Noviyanti, sedang dia dibiarkan pergi bersama Rosita. Sementara Arif si Tukang Antar berkeliaran seorang diri menunggu para gadis berbelanja.
“Kukira dia tidak sebenci itu, ternyata lebih parah dari dugaanku,” ucap Rosita menoleh pada Rusmana yang sedang memilih perabotan plastik. “Sampai jaga jarak dari kau.”
“Apa boleh buat?”
“Memang sudah kuduga kalau Maya tidak bisa disenggol sedikit,” lirih Rosita.
Rusmana tidak ingin memaksakan adanya jarak demikian luas terhadap Rosita hanya agar bisa kembali akrab dengan Maya. Sang sepupu yang memilih menjauh, dialah yang membangun jarak itu sendiri. Maka Rusmana menyerahkan waktu yang berbicara, tak ingin ambil pusing.
“Jangan, kalian sepupu. Nanti kucoba jelaskan lagi ke Maya kalau aku sempat akrab sama Dodi karena mama kami jodoh-jodohkan. Dodi merespons baik, kukira dia tidak sedang dekat sama siapa-siapa. Sekarang aku dan Dodi sudah biasa-biasa saja, berteman normal. Tapi kayaknya mereka tidak ingin dekat lagi.”
“Kalau dia masih marah, biarkan saja. Tidak perlu kau bersusah-susah menjelaskan ulang,” pinta Rusmana. “Paling nanti baik sendiri. Ini bukan yang pertama, dia memang suka begitu.”
“Tapi dampaknya ke kau, Rus. Kalian sudah kayak saudara yang saling melengkapi. Kulihat-lihat, Maya suka sekali bereksperimen, nekat belajar dan langsung ingin menguji kemampuannya yang mungkin masih setengah. Karena dia yang terlalu berani, dia perlu teman yang tenang dan bisa mengendalikan situasi. Seperti kau Rus. Kurasa Sari tidak banyak membantu.”
Rosita mengangkat kejadian Maya yang kesulitan mengendalikan ketinting untuk kedua kali ketika mereka pulang dari Tanjung hari itu—selepas insiden pertama. Meski sudah berlatih berulang kali, jalur belokan belum dia kuasai, selama ini sibuk berlatih pada trek yang lurus.
Sehingga pada perjalanan jauh dari Barimbang ke Tanjung di mana tidak semulus latihan, menghasilkan pengalaman baru. Ketika gadis lain takut dan menyerbu Maya, menyalahkan Maya, Rusmana berdiri mencari jalan keluar.
“Cari mati kau ini Maya! Bablas ‘kan?” Noviyanti marah-marah, tepi matanya basah.
Sari panik, saking bingungnya mengendalikan diri dia tertawa sambil meringis. Wajahnya berlipat horor. “Tai kucing. Hebat benar kau,” sarkasnya mengangkat jempol yang langsung Noviyanti tepis.
“Matamu hebat! Tidak mau lagi aku naik perahu sama kau Maya.”
“Daripada marah-marah, mending bantu! Kalian bikin aku semakin panik, makanya bablas.”
Perahu kebablasan. Atas kesengajaan Tuhan, mereka masuk ke rawa, jalur kecil nan sempit dan pendek di tepi sungai itu menjebak mereka. Akibat air tengah surut, satu perempat bagian perahu tidak menyentuh air, tepatnya bagian muka. Dayungan saja takkan mampu memindahkan.
“Bantu dayung!” pinta Maya menunjuk dayung yang berada di samping Rosita.
“Apa yang mau didayung? Dangkal begini. Kita cuman menyerok lumpur.” Sari menancapkan dayung ke lumpur dan mengarahkan ke Maya, menunjukkan bahwa sulit untuk lolos dari sana.