Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #7

6 | Pembukaan Lomba Karaoke

“SUSUN sudah botolnya, tunggu apa lagi?”

Warga Barimbang berdatangan, mengambil duduk di tepi-tepi halaman depan Sekolah Dasar yang luas, beberapa menyusun meja yang mereka pinjam dari sekolah untuk menjajakan dagangannya: pisang goreng, sukun goreng, air sirup, air kelapa, minuman soda, camilan ringan. 

kesempatan ini tentu takkan dilewatkan oleh para pedagang, tabungan-tabungan mereka bisa bertambah barang selembar atau dua.

“Lomba pancing botol anak-anak sebentar lagi dimulai. Ayo, yang mau daftar langsung datangi meja panitia, tulis namanya,” seru Romi, ketua Karang Taruna Barimbang.

Anak-anak dengan tinggi beragam mulai berbaris, terdapat empat babak yang masing-masing diisi oleh lima anak. Tidak sabar mereka berlari dan menjangkau tongkat pancing buatan.

Kayu dengan panjang tak serupa ujungnya diikat dengan tali, lantas ujung tali lain digantungkan paku dengan tidak seimbang. Bagian kepala paku dibuat miring, turun ke bawah, sedangkan bagian tajamnya terangkat ke atas.

Bukan tanpa alasan, ketidakseimbangan ini dibutuhkan agar paku bisa memasuki leher botol kaca. Dengan sedikit guncangan—sentakan dengan menarik tongkat yang tak sampai mengeluarkan paku dari botol—secara berulang, mereka menghasut agar paku menyangkut antara ujung leher dengan badan botol yang melengkung.

Sorak sorai memenuhi pendengaran, para penonton yang mayoritas adalah warga kampung sendiri tak berhenti memberi semangat kepada siapa-siapa saja yang bermain. 

“Ayo, sedikit lagi nyangkut itu!”

“Aih, terlepas pula.”

“Cepat, kasih sangkut.”

“Pakunya terlalu mereng, tidak bisa menyangkut kalau begitu. Betulkan dulu!”

“Bawa sudah!”

“Cepat! Cepat!”

Bergantian dan bertabrakan sorakan mereka menargetkan para peserta lomba. Ada yang sekali pancingan sudah bisa membawa botol ke garis akhir, ada yang perlu waktu cukup lama, ada yang sampai tiga orang berhasil melewati garis akhir dia masih saja menggoyang-goyangkan tongkat.

Setelah sesi anak-anak selesai, barulah orang dewasa memenuhi lapangan. Mereka berlarian, menggerutu jengkel kala paku tak jua menyangkut, terkikik geli saat mencoba menjaga botol menggantung di paku sambil berlari kencang, ada pula yang memukul paha sendiri saat botol jatuh di tengah jalan.

“Aish, kacau! Hari-hari pergi mancing ikan, tapi giliran mancing botol gagal terus!” ujar salah satu warga.

Dia yang disasar perkataan barusan membalas, “Yang kupancing ini benda matilah, sedangkan yang jadi andalanku memancing di sungai itu umpan. Kail pancingku bengkok, ini lurus. Mulutnya keras pula. Manalah sama.”

“Alah, alasanmu saja! Kau gugup jandamu menonton.”

Mereka tergelak. Si Pria Pemancing dan si Janda yang dimaksud saling berpandangan sekilas, Pria Pemancing mengembalikan botol dan replika pancingan ke posisi awal sebab babak itu selesai, sedang si Janda menutup muka malu menggunakan selendang.

Para orang dewasa saling mendukung dan mengolok-olok. Mereka terkikik juga terengah berlari ke sana ke mari. Para anggota karang taruna tentu tidak ingin ketinggalan keseruan tersebut, mereka ikut andil dalam perlombaan.

Rusmana bersusah payah meloloskan paku memasuki leher botol. Telinganya menangkap suara Aise, sang tante berujar, “Ayolah, Rus! Bapakmu dulu sering ajak kau mancing. Tunjukkan ilmu pancingnya!”

Bak terhipnotis, paku langsung menyangkut. Bagian atas tongkat kayu ramping itu merunduk ke bawa seiring terangkatnya buritan botol dari tanah. Menggantung dan melayang-layang, Rusmana menambah kecepatan seretan kaki begitu sadar Edo hendak mendahului.

“Mantap, Rus!” teriak Aise bangga.

Rosita ikut berteriak riang sambil bertepuk tangan. Saat itu Maya menjeling sambil berdiri, karena babaknya telah tiba.

Rusmana tersenyum lebar, berbangga diri menaikkan satu alisnya pada Edo yang mendecakkan lidah jengkel. Dia dua langkah lebih lambat, sementara Yuyun menyusul sebagai pemegang nomor tiga.

Mereka yang menduduki posisi pertama dari tiap-tiap babak akan kembali bertemu di final, mengejar nomor pemenang sebenarnya.

“Tim sepak bola Johan akan berlawanan dengan tim sepak bola Arif.”

Pasang-pasang kaki mereka diadu, siapa yang lebih laju, lebih piawai nenggulir bola, melempar kepada kawan, menendang ke gawang, memasang kuda-kuda agar tak rubuh, siapa yang lihai mengait kaki lawan hingga terguling, penjaga gawang-ala-kadarnya mana yang lebih jago menangkis tendangan. Semua diadu di lapangan itu.

Rusmana mencatat skor yang dicetak oleh Tim Arif, ketika itu dia merasakan kehadiran Noviyanti, tangan kanannya memegang pisang goreng yang telah digigit setengah.

“Rosita ke mana? Kulihat dia berlari laju.” Noviyanti duduk di samping Rusmana.

“Dia tembus, mau ganti celana katanya.” Rusmana mengikuti ke mana bola menggelinding.

“Oh, kukira kenapa,” balas Noviyanti sebelum menelan kunyahan. “Kau bagaimana? Sudah mens belum?”

Lihat selengkapnya