LISTRIK padam, penglihatan penghuni rumah dibantu oleh lampu berbahan bakar minyak tanah dengan tali kompor sebagai sumbu. Di puncak api yang menyala itu, asap hitam meliuk-liuk dengan rampingnya, meninggalkan noda hitam pekat di dinding dan atap.
Subuh ini Rusmana sudah sibuk di dapur, memasak nasi. Wajahnya menerpa uap panas dari rebusan air yang meletup-letup, aromanya terasa manis. Dia menjangkau gelas kaca, mengambil setidaknya setengah bagian gelas air rebusan beras tersebut. Tidak begitu cair, sedikit kental. Rusmana membauinya, sesekali meniup, menyesak sedikit-sedikit sampai habis.
Rebusan air beras sudah menjadi langganan Rusmana nyaris setiap hari, baginya cukup sebagai penawar sakit mag. Mengaduk beras setengah masak yang airnya menyusut, Rusmana menyiapkan panci lain guna mengukusnya hingga nasi matang.
“Habis minum adikmu tadi malam?” Rabiah muncul, dia baru bangun.
Rusmana berdeham. “Kulihat muntah-muntah dia di depan itu.”
Duduk di samping sang anak sulung, Rabiah memandangi aksi Rusmana memindah nasi setengah matang ke panci baru. “Tidak kerja juga ‘kan dia hari ini?”
“Hm. Sapardi saja yang pergi jala ikan tadi malam, siang ini juga dia tidak kerja.”
“Sapardi mau pergi jalan ke Tanjung sama temannya nanti siang.”
Rusmana mengangguk. Telinga gadis itu mendengar bising ketinting dari kejauhan, perlahan mengurangi laju hingga mesin itu mati. Keduanya yakin jika itu tanda kepulangan Sapardi.
“Belah dua saja telurnya. Kau mau ‘kan?”
Rusmana mengangguk. Dia menggoreng dua butir telur bergantian, agar kemudian membagi empat bagian, masing-masing setengah potong untuk penghuni rumah itu. Tak berselang lama Sapardi datang.
Remaja itu berjingkat melewati betis panjang Hamid. Pria itu tidur dengan lelapnya di ruang tengah, depan pintu satu-satunya kamar—yang Rusmana dan Rabiah tempati.
“Dapat banyak kah kau?” tanya Rabiah.
“Aih, tidak. Paling tidak sampai dua kilo, ikannya kecil-kecil.” Sapardi meletakkan karung berisi perkakasnya ke dekat perapian.
Rabiah mengambil alih hasil tangkapan Sapardi. “Mau diapa? Tak bisa dijual, kita goreng saja.”
Rusmana membersihkan ikan-ikan segar tersebut, memasukkan ke penggorengan berisi minyak panas. Mengisi rantang dengan nasi, telur, ikan, lalu menyiapkan diri.
Pekerjaan mereka pagi ini berlalu seperti biasa, tidak ada yang istimewa, sampai pulang sore. Rusmana langsung mengenakan baju panitia, menuju lapangan sekolah yang jaraknya tak jauh dari rumah. Sejenak perhatian Rusmana tertuju pada tumpukan papan di samping rumah yang lama tak dihuni.
“Rumah itu mau direnovasi?” tanya Rusmana pada Yuyun yang membawa tumpukan karung bekas.
“Iya, sekalian bikin warung. Kudengar ada yang mau pindah ke sini nanti.”
“Yang punya tanah itu mau pindah ke sini?” Rusmana sedikit tahu tentang pemilik tanah di pinggir sungai samping jembatan dan sebelum sekolahan tersebut, seorang lelaki yang seumuran Rabiah.
“Bukan. Ceritanya orang itu beli rumahnya aja, tanpa tanah. Tapi tidak tahu siapa.”
Rusmana mengangguk. “Balap karung, final pancing botol, sama voli ‘kan?”
“Iya. Nanti kita satu tim ya, voli? Aku tidak pintar, kau hebat kalau main voli.”
Terkekeh, Rusmana menyerahkan pembagian kelompok kepada yang bersangkutan, yakni Maya, Sari, dan Dodi. Sejak dahulu dia jarang protes perihal akan disatukan dengan pemain voli macam apa.
Hanya voli dan pancing botol yang bisa Rusmana banggakan, selain daripada itu dia payah. Lomba karung dan tarik tambang seringnya kalah. Setiap bermain tarik tambang, lawannya selalu berbadan dua kali lipat. Sekuat-kuatnya Rusmana, jika berhadapan dengan mereka dialah yang diseret-seret.
Canggung, Rusmana merasa kurang leluasa berdiri di samping Maya. Mereka bertemu di final lomba pancing botol, bersampingan, keduanya berusaha fokus.
“Ayo, Rus! Semangat, Rus!” seru Rosita menyemangati.
“Satu … Dua … Tiga!”
Para finalis berlari mendekati botol, mengambil tongkat dan mengayun-ayunkannya sampai paku menyangkut. Telinga Rusmana menangkap Maya mendecakkan lidah berulang, kesal paku tak kunjung menyangkut.
Walau Rusmana sempat bertekad membiarkan waktu yang memperbaiki pertemanam itu, tetap saja dia terganggu. Rasanya rutinitas menjadi kacau balau, sedang Rabiah yang peka akan jaraknya dengan sang sepupu menegur agar lekas diperbaiki.
Kedua mata Rusmana terbuka lebar, paku itu menyangkut. Namun, Maya masih mencari-cari teknik agar paku mengait leher botol.
“Astaga! Padahal tadi sudah menyangkut,” seru salah seorang ibu menyayangkan paku itu lolos.
Rusmana mengulang teknik andalannya. Saat Maya mengangkat botol, Rusmana ikut berlari.
“Juara pertama Maya, kedua Rusmana … ketiga Tante Tura!”
Rusmana mengembangkan senyum kala Rosita mendatanginya dan memberi selamat.
“Jadi juara dua! Nanti voli juara satu, ya!”
Rusmana terkekeh. “Mudahan,” balasnya.
Seperti yang sudah disinggung di awal, Rusmana tak lihai dalam lomba lompat karung. Dia bahkan tak masuk final, sementara Rabiah masuk.
Tertawa kencang, Sapardi yang langsung memasuki lapangan begitu dia pulang dari aksi jalan-jalan mengungguli lomba balap karung laki-laki. Dia mengangkat karung tinggi-tinggi, bangga.
“Ngeri juga kakimu, makan karung!” olok Sapardi pada kawannya yang membuat karung sobek di pertengahan jalan.
“Lapuk, karungnya yang lama.”