TUHAN memberikan izin-Nya, geng para gadis yang kerap menarik perhatian orang-orang karena kehebohan mereka tidak lagi terpecah-belah. Siang itu Rosita duduk, bergabung. Redaksi yang dia urai di atas meja kantin membuat keputusan sepenuhnya berada di tangan Maya. Rosita meminta maaf jikalau memang dia berbuat banyak kesalahan hingga amarah Maya awet, dia bahkan bersedia mundur dari aksi obrol-mengobrol dengan Rusmana jikalau Maya datang.
Maya menolak keinginan itu. Dia tak ingin terlihat sebagai sosok eksekutor pertemanan. Dia turut minta maaf dan mencoba memperbaiki sikap.
Terhitung sejak itu rombongan Rusmana, Maya, Sari, Noviyanti, dan Rosita memakan banyak jalan. Keseringannya mereka ke mana-mana bergerombolan atau bahkan berderetan seperti induk bebek dan anak-anaknya. Kendati masih termaktub kecanggungan antara Rosita dan Maya, kehendak membenahi pertemanan lebih mencolok—terpaksa atau tidak.
“Sakit perutku, bah,” keluh Rusmana.
“Banyak makan cabe kau?” tanya Maya.
Rusmana menggeleng. “Tidak juga.”
“Tidak juga dari mana?” sanggah Sari. “Dari tadi yang paling banyak mencomot sambal itu kau. Sampai takut aku tidak kebagian.”
Rosita terkekeh. “Awas berak-berak, tidak bisa menjuri kau malam ini,” tuturnya menjadi penghalang bagi Rusmana mencocol pisang goreng ke dalam sambal.
“Eh, awas besok kau sampai sakit perut! Aku tidak mau tim kita kalah gara-gara kau tak bisa main,” ancam Noviyanti, dia menodong tempe yang sudah digigit dengan bentuk memanjang. Noviyanti suka menyisakan bagian tengah untuk di makan terakhir.
“Tidak, santai saja!” yakin Rusmana perutnya takkan berkelakuan buruk setelah ini.
Meski pedas menggigit lidah, komposisi sambal buatan Tura sangatlah menggugah indera perasa mereka, termasuk Rusmana. Sepedas apa pun jika campuran bawang, terasa, dan garam pas, menghabiskan satu panci nasi pun dia mampu. Sayang sekali perutnya yang tak selaras dengan keinginan.
Mengumpulkan nama pemenang lomba karung orang dewasa dan anak-anak, Rusmana memberikannya kepada Noviyanti guna menyimpan daftar nama tersebut. Dia beralih mengintip deretan nama pemain tarik tambang.
“Kenapa lawanku besar-besar semua ini?”
“Mana ada, adil sudah itu.”
Rusmana menatap Noviyanti beriring sorot tidak terima. “Adil apanya? Sekali-sekali masukkan aku ke tim yang besar inilah.”
“Kalau kau masuk ke sana, tidak adalah kontribusimu. Kau tinggal ikut pegang tali, tidak ikut menarik. Yang ada kau ikut tertarik nanti.”
“Apalah. Ikut menarik aku, jangan kau ragukan otot-otot tanganku ini.” Rusmana memamerkan otot lengannya yang sulit ditemukan.
Noviyanti sampai menyipitkan mata. “Tulang?”
Rusmana mendecih. “Tidak bisa diajak kerja sama.”
“Sebagai warna negara yang baik, kita harus bermain jujur, Rus. ‘Kan mereka yang mendaftarkan diri sebagai tim, sisanya diundi masuk ke tim mana. Kamu masuknya ke tim ini, harus berpasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menang syukur, kalah tersungkur.” Noviyanti cekikikan.
Melengos pergi, Rusmana membantu menyiapkan tali tambang. Para lelaki yang lebih dahulu mengadu kekuatan dan kebersamaan. Suara mereka yang berat saling menyoraki diri setiap tarikan mereka ambil.
“Tarik, tarik!”
“Tahan dulu, oi! Tahan!”
“Pindah ke belakang!”
Saling memerintah dan mengarahkan, beberapa patuh beberapa bertahan di kehendak sendiri. Menang atau kalah, keluhan mereka sama, yakni telapak tangan yang sakit. Merah dan mengelupas.
Sang jangkar yang paling mempertarunkan kemulusan kulitnya. Tangan itu dililit oleh tali tambang yang besar, digenggam sekuat tenaga, menarik atau setidaknya menahan agar tim mereka tidak ditarik maju oleh lawan, mencegah batas itu tidak memasuki wilayah lawan.
Keseruannya melebihi lomba karung. Napas tersengal, wajah berkerut merah, tawa yang janggal akibat sibuk mengeluarkan seluruh kekuatan bercampur dengan geli menyaksikan raut-raut kesulitan lawan, berbaur di antara sorakan penonton.
“Kau di mana, May?” tanya Rusmana ketika giliran mereka bermain tiba.
Maya mengambil posisi di tengah. “Sini saja. Kau di mana?”
“Depan mungkin?” jawabnya skeptis.
“Kau di belakang saja, Rus. Biar aku yang di depan,” pinta seorang ibu-ibu.
“Masa aku di belakang, Tante?”
“Iya. Jadi jangkar saja kau.”
Rusmana mundur, dia mencari posisi ternyaman. Melilit tali kemudian melepaskannya, berpikir keras menemukan teknik menarik agar mampu menyeimbangi kekuatan lawan. Meski dalam sekali lihat pun, pemenang sudah bisa ditentukan.
“Sudah siap?”
Mereka mengangguk dan berseru, “Siap!”
“Satu, dua, tiga!”
“Tarik! Tarik!”
Keriuhan lantas memenuhi lapangan sekolah dasar tersebut. Saling menyoraki tim mana-mana saja. Mulut itu terbuka lebar, kepala bergantian menoleh ke kiri dan kanan, memantau perjuangan masing-masing peserta.
Wajah Rusmana berkerut, dia terus ditarik maju. “Argh!” Dia menancapkan tumit ke tanah, menarik kuat-kuat tali tambang. Pekerjaan menjadi sedikit ringan ketika orang-orang di depannya membuat kemajuan.
Rusmana ikut mundur.
Sayangnya aksi menggembirakan itu tak bertahan lama. Sedikit demi sedikit tali itu dilahap oleh tim lawan, mereka unggul dari segi apa pun. Alhasil, pada sesi pertama itu mereka gagal.
Berpindah tempat, kedudukan Rusmana tidak diubah, hanya mereka yang di depan saja mengganti posisi paling strategis. Namun, sesering apa mereka mengubah letak tarikan, hasilnya tetap sama.
“Beratnya,” keluh Rusmana tanpa menyadari wajahnya telah berubah merah.
Peluh yang mengalir deras di wajah dan tubuh Rusmana bukan semata-mata karena perjuangan kerasnya mengunci pergerakan, melainkan bercampur keresahan akan perutnya yang semakin berulah. Bukan sekadar perut malah.