Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #10

9 | Pindah

“RUS! Rus!” panggil Sari agresif. Tangan kanannya melambai memanggil Rusmana, sedang tangan kiri menyeret Maya agar mempercepat langkah, dan Maya menyeret Rosita. Ketiganya berderet panjang bak kereta.

Rusmana menurunkan gerobak, dia baru selesai memindahkan bibit. Bersama tatap ingin tahu dia menunggu kedua sepupu juga sahabat itu mengikis jarak antar mereka. 

“Kau sudah dengar kabarnya belum?” 

“Kabar apa?” 

Sari menoleh kiri dan kanan seolah siaga. “Kau ingat tidak obrolan kita minggu lalu waktu kau pindahan rumah? Yang ada Lembayung bantu kita cuci piring.” 

Rusmana berpikir, ketika itu ada dua topik yang mencolok: pertama perihal keponakan Damayanti—istri Jupri yang datang dari Sulawesi membeli rumah tepi sungai sebelum sekolahan—akan datang dan bekerja di Persemayan; kedua soal potongan kepala babi yang hanyut di sungai. Rusmana bingung topik mana yang Sari maksudkan.

“Keponakan Tante Damayanti!” sebut Sari berbisik gemas.

“Kenapa? Sudah datang? Sudah kerja di sini dari tadi? Atau ternyata perempuan, bukan laki-laki kaya yang kita kira?” sebut Rusmana mengeluarkan rentetan dugaan.

Merapatkan badan, Sari berbisik, “Keponakan Tante Damayanti itu ternyata Amir.”

Refleks perasaan aneh melilit perut Rusmana. “Hah? Masa?” Dia menyorot Rosita.

Sebagai sepupu, sudah semestinya Rosita tahu dan paling awal memberitahu, pikir Rusmana. Sementara Rosita memasang raut wajah seakan dia baru mendengar kabar tersebut.

“Tahu dari mana? Kukira keponakannya orang jauh,” imbuh Rusmana masih tak percaya.

“Kami pikir juga begitu, Rus. Tapi Lembayung bilang nama keponakan tante itu Amirrudi, tinggalnya di Tanjung,” tambah Rosita.

Makin terkejutlah Rusmana. “Kok, Lembayung? Harusnya, info ini datang dari kau, Ros.” 

Maya berkata, “Heran, ‘kan? Kok bisa beritanya malah kita dengar—alias habis mengupingi—dari Lembayung. Makanya Sari tidak sabaran cari kau, sampai kami diseret-seret kaya karung pupuk.”

“Jadi betulan dari Lembayung?” tanya Rusmana memastikan.

Lembayung ialah salah seorang perempuan paling memukau di antara para wanita di sana. Dia memiliki pesona sendiri, menggenggam cahaya yang tidak dikantongi oleh Rusmana, sehingga dialah yang paling bersinar. Lembayung memegang daya tarik yang banyak memancing perhatian semua orang, baik pria atau wanita, remaja atau orang tua. 

Hanya saja, perempuan sebersinar itu bukanlah anggota geng tetap Maya yang di dalamnya ada Rusmana. Mereka saling mengenal  sebatas teman biasa. Mengobrol seadanya. Seperti dekat tetapi tidak dekat.

“Begini ceritanya,” buka Sari mulai berkisah, berlagak guru yang mendongengkan kisah lawas, “aku sama Maya ke kantin dekat gerbang depan sana, mau cari Mandor Ika. Nah, lewatlah kami dari meja tempat geng Lembayung duduk, pas dia cerita kalau sebentar lagi bakal kedatangan beberapa pekerja baru, salah satunya keponakan Tante Damayanti, namanya Amirrudi. Dia diceritain langsung oleh Tante Damayanti.

Langsunglah kuburu Rosita, kutanya ‘betulkah Amirrudi itu Amirrudinya Rusmana?’. ‘Kan mereka sepupuan. Tapi Rosita bilang ‘tidak tahu’, dia belum dengar apa-apa.”

Selepas narasi Sari berhenti Rusmana hening selama dua tarikan napas, untuk kemudian mengangguk pelan. “Oh, begitu.” 

“Kok, oh?!” 

“Terus aku harus bagaimana?” tanya Rusmana balik. 

Gadis itu bingung reaksi macam apa yang tepatnya diberikan. Haruskah dia senang karena Amirrudi akan pindah ke Barimbang atau sedih karena berita itu datang dari orang lain? 

Ambil jalan tengah, Rusmana bersikap santai. 

“Kau tidak cemburu?” Sari menampakkan keterkejutannya. 

“Mengapa cemburu? Aku siapa?”

Serta-merta mereka diam. Barang setengah menit angin mencuri obrolan mereka, menyisakan keheningan di tengah-tengah kesibukan para pekerja.

“Kurasa Tante Damayanti ini keluarga dari garis bapaknya Amir, bukan mamanya. Makanya aku tidak tahu kalau ada keluarga Amir yang pindah ke kampung kita, mama bapakku juga tak ngomong apa-apa,” imbuh Rosita menjelaskan bagaimana dia tidak mendengar kabar tersebut sejak kepindahan Damayanti dan suami.

Kedua tangan Rusmana mengepal di pegangan gerobak, mengangkat bagian standar dan menggulir roda tunggalnya. “Sudahlah, mengapa kita bicarakan ini terus? Biarlah dia mau datang atau dari siapa pun kabarnya muncul. Mending kita balik kerja, banyak yang perlu dibuat,” pungkasnya sambil mendorong gerobak.

Bohong jika mengatakan Rusmana tak peduli, sadar benar dia tidak akan berhenti memikirkan kedatangan Amirrudi di kampungnya jikalau kabar kabur itu nyata, jikalau Amirrudi itulah yang dimaksud. 

Apa yang memancing sikap demikian adalah rasa sadar bahwa alasan apa yang mendasari Rusmana harus berlagak cemburu? Tidak terima atau bahkan merajuk? Rusmana tidak menemukan alasan itu. 

Bikin malu diri sendiri saja. Aku yang terlalu terbawa perasaan, padahal tidak ada apa-apa di antara kami. Kepikirannya malah berkepanjangan, tidak habis-habis.

Rusmana menyalahkan diri sendiri, menuding diri bahwa dia tak semestinya memendam bayang-bayang akan Amirrudi selama ini. Padahal pertemuan mereka amat singkat beriring topik sepele. Lantas mengapa kenangan bersama Amirrudi senantiasa menduduki tangga teratas?

Di perjalanan pulang, Rosita mendempeti Rusmana, berbisik, “Mau aku periksakan langsung? Setidaknya kita tahu dulu itu Amirrudi yang kita pikir atau bukan. Sebab bayanganku keponakannya dari Sulawesi, Amirrudi lahir di Sungai Nyamuk dan dibawa pindah ke Tanjung pas umur satu tahun. Tidak mungkin ‘kan kemarin dia hilang lima bulanan itu ternyata ada di Sulawesi, terus baliknya ke sini?”

Bagai tengah merancang bisnis ilegal, Rosita mencegah orang lain mendengar tawaran barusan disertai mata bergerak siaga, terutama pada Lembayung yang berjarak empat meter dari mereka.

“Tidak usah. Kita sudah berlebihan, buat apa berlaku sejauh itu?” respons Rusmana. “Lagipula akan kita apakan dia kalau benar datang? Dia tidak punya hutang, janji, atau apalah sampai kita mesti berurusan panjang.”

“Kau serius, Rus? Hatimu tidak merasa sakit?”

Rusmana berdeham, sedang hatinya bergeleng. “Jika dia ingin datang, maka datanglah. Lupakan saja urusan kemarin, Ros. Aku tidak mau kau bertanya apa-apa padanya, kalau memang itu dia. Pokoknya jangan repot-repot meminta penjelasan.”

“Baiklah, kupatuhi maumu,” sambut Rosita, “tapi semisal kau butuh jasaku, jangan malu mengatakannya. Aku takkan mengolok.”

Langkah itu dilanjutkan, kaki-kaki mereka menuruni gunung yang tak terjal, bebatuan timbul di permukaan tanah yang kuning kemerahan tersebut. 

“Oh, iya, Rus.” Intonasi suara Rosita berubah selembut sutera.

Rusmana menoleh memandangi Rosita yang mengulum senyum salah tingkah, kini dia penasaran apa yang membuat perempuan itu tersipu, padahal mereka tak sedang membaca puisi manis nan menghanyutkan.

Lihat selengkapnya