Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #11

10 | Emping Ketan Muda

“KEMARILAH dayang-dayangku! Tuan Putri ini hendak naik ke perahu.” Noviyanti merentangkan tangan, menanti tangan-tangan lain bertengger di antara jemari lentiknya, menuntun menaiki perahu.

“Siapa yang kau panggil dayang?” Maya mengerling.

“Putri Lemah Bulu,” celetuk Arif.

Kedua manik Noviyanti mendelik. “Kau itu yang lemah bulu! Sering disasar setan.”

“Mari Tuan Putri.” Sari menyentuh tangan Noviyanti dengan lembut.

Tentu Noviyanti menyambutnya penuh suka cita, sudut bibirnya berkerut oleh senyum. Rusmana ikut membantunya melewati jembatan antara tepi sungai dengan pelabuhan yang mengapung di atas tenangnya sungai. Embun masih mengelilingi, udara yang dihirup itu membawa kesegaran dalam dada.

Rusmana melirik Sari yang mengulum senyum janggal, menyembunyikan sebuah rencana. Benar saja, belum dua detik menduga, Sari berlagak mendorong bahu Noviyanti ke tepi pelabuhan, membuat gadis itu menjerit panik.

“AAA! Tai kucing kau, Sari!” sumpahnya dongkol sembari berpegangan kuat pada pergelangan Rusmana.

Arif penyumbang tawa paling kencang. “Ceburkan saja Tuan Putri itu, badannya bau belum mandi. Sabunnya pakai tai yang hanyut dari lanting Paman Muis, dia habis berak tadi.”

“Matamu belum mandi! Asbun benar. Aku tidak bau ‘kan, Rus?” 

“Wangi,” jawab Rusmana menyenangkan hati Noviyanti. 

Gadis itu menjulurkan lidah, sebelum tangan itu menampar bahu Sari yang terasa pedas. “Macam-macam kau!”

Sari tertawa geli. “Maaf, maaf. Si Maya yang nyuruh.”

“Jual aja namaku, Sari. Jual terus, tidak apa-apa. Saking ikhlasnya aku, kukasih namamu ke Kakek Udin.”

“Jangan begitulah. Kita ini ‘kan kawan sejati, sehati, sehidup semati.”

Tak ada sedikit pun sesal, Sari berlagak mendorong Rusmana. Kedua saling mendorong sampai Maya menegur, “Dorong terus, dorong-dorongan saja kalian! Tunggu tercebur baru diam. Naik perahu sudah, mau berangkat kita ini, yang lain sudah berdatangan.”

“Siap, Madam,” seru Rusmana dan Sari bersamaan.

Berjingkat menaiki perahu, Rusmana duduk di samping Noviyanti, sedang Sari dan Maya di belakangnya, Rosita dan Tina di depan. 

Penumpang pada masing-masing tiga perahu yang tengah mengarungi sungai ialah perempuan, dari yang belasan hingga empat puluhan tahun. Memanfaatkan sumber daya manusia Barimbang, Persemayan hampir dipenuhi oleh masyarakat Barimbang sendiri. Sementara para lelaki masih kalah jumlah.

Suara mesin ketinting melengking memantul dari kedua sisi sungai. Hutan-hutan di sekitar menjadi objek gema suara, menyembur masuk secara terus ke telinga. Perjalanan pagi ini ditemani dingin menembus tulang, masing-masing tangan akan mengelilingi pergelangan atas, membantu mengurangi kadar dingin yang dirasa. Kepala mereka bergerak ke kiri dan kanan, memandangi panorama sekitar yang tiada pernah memancing bosan. 

Pohon-pohon berdiri kokoh, jarang dan sebagian rapat, besar juga kecil, lebat dan berdaun sepi, dihinggapi hewan juga tak menjadi dasar pijakan binatang mana pun, menampung buah yang bisa dimakan pun beracun. Rerumputan rindang, liar, melilit-lilit mengelilingi tanah, tinggi hingga menyentuh pohon. 

Orang utan akan mudah ditemukan setelah menempuh satu pertiga perjalanan, mereka berdiri di atas pohon, di antara rimbunnya dedaunan, bersama keluarga berbulu mereka. Warna dan tubuhnya mencolok di pandangan, suaranya memanggil untuk mengangkat wajah, menengadah lalu menemukan keberadaan mereka di atas sana. 

Tolehan Rusmana pada sisi kanan mempertemukan manik cokelatnya dengan tatapan teduh Amirrudi. Perahu yang dikendalikan oleh Jupri, omnya langsung, maju menyetarai posisi perahu mereka.

Intensitas kedekatan kedua insan itu kian terasa semenjak kepindahan Amirrudi. 

“Aku hendak tinggal di mes,” tutur Amirrudi kemarin sore, ketika para remaja berkumpul di tepi sungai menikmati waktu sore.

“Mulai kapan?”

“Besok. Dodi cerita kalau orang di mes atau barak sering turun ke kampung. Jadi kurasa tidak masalah tinggal di mes tanpa betul-betul jauh dari sini.”

Rusmana menolak membalas pandangan Amirrudi. “Kenapa buru-buru pindah?”

“Tidak mau merepotkan.”

Hening melanda. Niat itu sangat mulia, Rusmana tidak punya kendali baik sekedar menjeda atau menahan.

“Kalian-kalian sering pergi ‘kan?”

“Tergantung, kalau tidak lelah, kalau sedang ada pameran atau sesuatu yang seru untuk ditonton, kami pergi.”

Kini, tas di punggung Amirrudi menandakan pernyataan kemarin terpenuhi. Rusmana tersenyum kecil sebelum mengalihkan wajah ke lain arah. 

Rusmana terkesiap, Noviyanti yang senyam-senyum menyambut tolehannya, membuat Rusmana gelagapan mencari tempat menyembunyikan wajah.

“Santai saja, Rus. Aku merestui.”

Sebenarnya aku tidak butuh restu itu, tapi terima kasih, bisik batin Rusmana yang terlampir melalui tatapannya.

“Kau lebih cocok dengan dia daripada Sappar. Sekuriti itu sudah kurang ajar, tidak usah kau beri dia kesempatan kedua.”

Rusmana teringat, salah satu dari dua sekuriti yang menjaga Persemayan pernah menyampaikan ketertarikannya, tetapi ketika dia hendak menjalin kedekatan itu, Sappar justru menggantungnya. Terlonsong jengkel, Rusmana langsung balik kanan, sedang Sappar beralih mengejar-ngejar.

Sari menyelipkan wajah di antar celah Noviyanti dan Rusmana. “Tante Rabiah kepengin benar Rusmana nikah sama Sappar, setidaknya sampai awal tahun kemarin. Lancar sekali Tante Rabiah meladeni kebaikan Sappar.”

“Seandainya kau terima, pasti sekarang kau sudah berbadan dua, Rus,” timpal Maya diiringi tawa, membayangkan Rusmana dengan perut besar berjalan ke sana ke mari.

“Anehnya, Rusmana takut sekali dengan Sappar. Trauma benarkah, kau?” tanya Sari.

“Apa dahulu Sappar menyakitimu sekejam itu, Rus?” 

Rusmana melirik Rosita. “Tidak. Masalah dia menggantungku sementara bersikap sangat baik sama mamaku itu tidak seberapa. Perawakannya yang menakutiku.” Dia merinding membayangkan menjalin hubungan sedemikian rapat dengan Sappar.

Noviyanti tergelak. “Memang ngeri bah badannya Sappar: tinggi besar, kulitnya gelap, cambangnya jarang dipangkas, suaranya juga berat sekali seakan-akan sedang berbicara dengan malaikat pencabut nyawa.”

“Aku hampir tidak pernah mendengar suaranya,” ungkap Rosita.

Maya menambahkan, “Ingin tahu kekalahan Rusmana? Pakai saja laki-laki yang punya badan besar, apalagi wajahnya garang, makbul buat dia ciut.”

“Padahal Sappar tidak semenakutkan itu tahu, Rus.” Sari kembali ke posisi awal, menegapkan badan.

Mengedikkan bahu, anak pertama Rabiah itu menjawab, “Tidak tahu, takut saja bawaannya.”

Rusmana mengeratkan jaket di badan, mereka telah tiba, secara perlahan perahu itu menepi. Perjalanan melalui jalur air mampu memangkas waktu hingga setengahnya dari berjalan kaki, secukupnya penat ialah penat bokong. 

Lihat selengkapnya