SOROT pandang Rusmana meluas, sejauh mata menyusuri daratan itu tampak kecil. Dia bisa melihat atap lanting, atap kantor sekolah, atap rumah sebagian warga—walau terhalang oleh sejumlah lembar daun.
“Satu lagi, Rus! Yang itu, itu!” teriak Noviyanti menunjuk kelapa incaran.
Menoleh pada arah tunjuk Noviyanti, Rusmana mengeser tubuhnya dengan hati-hati. Sambil memeluk pohon kelapa, tangannya menjangkau tangkai kelapa dan memotongnya.
Bunyi gedebuk kelapa yang berbenturan dengan tanah segera menyambut beberapa detik kemudian.
“Lagikah?” seru Rusmana sambil menyaring tumpukan kelapa yang saling bertumpuk di dekat pelepah.
“Sudah, sudah cukup!” pungkas Rosita, mendahului Noviyanti yang ingin menambah.
Membungkus celurit dan menggantungnya di pinggang, Rusmana turun perlahan. Telapak kaki itu menapak batang pohon yang pecah-pecah, tekstur kasar itu justru membantu para pemanjat mencapai puncak.
Akibat bagian batang pohon kelapa tidak membentuk kalus, setiap goresan yang tercetak di sana takkan bisa pulih, sehingga para warga terkdaang memanfaatkannya guna membuat pijakan-pijakan.
“Berapa biji semua?” tanya Rusmana begitu berhasil menapak tanah.
Gadis itu telah lama tidak memanjat pohon kelapa, wajar jika tangan-tangannya berkeringat dan mengeluhkan telapak kaki sakit akibat terlalu lama menekan kuat batang pohon yang seperti bergerigi.
“Tujuh,” balas Noviyanti seraya melambangkan dengan jemari.
“Cukup?”
“Cukup.” Rosita mengumpulkan kelapa itu di satu tempat. “Kau mau ambil satu?”
“Nanti saja.”
“Sudah ada yang punyakah itu?” seru suara berat dari belakang.
Berbarengan ketiga gadis di bawah pohon memutar badan, mereka tidak sadar akan kedatangan Amirrudi. Rusmana yang menuruni pohon pun tak melihat lelaki itu di mana-mana sebelumnya.
Setidaknya tiga kali dalam sebulan Amirrudi turun ke kampung, menginap di rumah Damayanti. Sesekali sepupu Ahmad—bapak Amirrudi—itu memanggilnya turun guna membantu urusan sang suami.
Sekarang Jupri membuat perahu pesanan salah seorang warga, dia membutuhkan sejumlah bantuan, lantas orang yang dia minta datang adalah Amirrudi.
“Punyaku dua!” seru Noviyanti tak ingin miliknya diambil alih.
“Total enam sudah bertuan. Kau mau ambil berapa? Sisa satu. Masih segar ini, baru aja diturunkan dari pohonnya.” Rosita menawarkan barang jualan dengan terus mengunggulkan produk.
“Empat, tapi tanteku perlu yang tua.”
“Di pohon ini masih muda semua, tak ada yang tua,” ujar Rusmana masih menapak kaki di tanah, belum mengenakan alas kaki.
Noviyanti menawarkan, “Perlu empat saja? Berarti kau panjat pohon sebelahnya, Rus. Di sini belum ada yang tua. Kau tunggu saja.”
Atensi Amirrudi tumpah pada Rusmana. “Mengapa kau yang manjat?”
“Memangnya kenapa?” Rusmana melempar sorot bingung.
“Eh, kau kira yang ambil buah kelapa ini siapa?” timpal Rosita.
Amirrudi kembali menyorot Rusmana, menatap tak percaya. Telinganya mendengar Rosita bersungut.
“Kau belum tahu Rusmana, soal panjat memanjat pohon dia sudah biasa. Jangan remehkan dia, sejak kecil banyak mengekspor alam.”
Noviyanti mengangguk mantap, tangannya terangkat menunjuk pohon dan sungai bergantian. “Diminta nyamar jadi monyet bisa, jadi buaya bisa, jadi beruang—untuk mengambil madu—pun dia pernah. Semua bisa.”
Mendengkus, Rusmana tak tahu harus senang pada lontaran barusan. Entah tergolong pujian atau hinaan tersirat. Selekasnya menggusur maksud tersembunyi ucapan Noviyanti, Rusmana lebih peduli pada tatapan sulit diartikan Amirrudi.
“Kenapa kau yang manjat? Memangnya tidak ada orang lain yang disuruh? ‘Kan laki-laki di kampung ini banyak.”
“Buat apa nyuruh orang kalau aku sendiri bisa?”
Amirrudi memasang raut kesal, dia melengos sesaat. Membuat para gadis saling berpandangan heran pada reaksi tersebut.
Bagi Amirrudi, tidak semestinya Rusmana mengorbankan diri memanjat pohon kelapa, masih banyak orang yang mampu menggantikan. Sedangkan bagi para gadis di sana terutama Rusmana, aksi perempuan yang panjat memanjat pohon bukanlah perkara asing.
Meski tidak seluruhnya bisa memanjat pohon terutama sejenis pohon kelapa, setidaknya mereka akrab menyaksikan gadis-gadis kampung melakukan pekerjaan eksrem, yang biasanya diambil oleh pria.
“Kau jadi perlu kelapa atau tidak?” tanya Rusmana terkesan mendesak.
“Jadi. Biar aku sendiri yang ambil.”
Rusmana memberikan celurit di pinggang, menonton Amirrudi menuju pohon kelapa yang menampung puluhan buah matang.
Pohon satu itu tidak memiliki celah buatan untuk menapakkan kaki, sehingga proses memanjatnya jauh lebih sulit dibandingkan pohon sebelumnya.
“Wih, jago juga dia panjat pohon kelapa, Rus. Cocok kalian kerja jadi tukang panjat kelapa. Nanti orang-orang manggilnya Pasangan Pemanjat.” Noviyanti tidak dapat menahan diri untuk tidak tertawa.
Tergelitik, Rosita mengikik. “Boleh juga. Pasangan Pemanjat,” ulangnya lalu mengeraskan tawa.
Rusmana tidak menyukai julukan tersebut. “Ih, apalah itu? Tidak ada estetikanya sama sekali.”
“Loh, kenapa? Keren itu,” sambut Noviyanti pencetus julukan tersebut. “Bisa jadi bisnis. Kalau sudah berhasil, baru sebutannya diganti jadi Pasangan Pebisnis.”
Bising gelak menggedor telinga Rusmana, dia mendecakkan lidah pada kedua teman yang tiada hentinya mengulang-ulang sebutan Pasangan Pemanjat alih-alih Pasangan Pebisnis.