Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #13

12 | Bicara Soal Pemikiran

“TAMPANG yang memukau memang handal narik perhatian banyak orang, ya? Benar-benar punya daya tarik. Tambah-tambah dia gampang akrab, tidak peduli siapa saja mendekati.”

Rusmana menata tanah yang sudah disiapkan dalam wadah untuk kemudian diisi benih akasia. Tangannya terus bekerja, sedang Rosita bersuara. Kebetulan hanya ada mereka.

“Aku tidak tahu caramu kendalikan diri, tapi jika aku jadi kau, cemburunya aku setengah mati lihat Amir akrab sama perempuan sana dan sini.”

“Teman laki-lakiku juga banyak. Akrab dengan lawan jenis bukannya normal? Kita semua demikian.”

Rusmana lanjut bercerita, “Waktu kecil, ketika kami masih tinggal di samping rumah nenekmu, banyak yang tinggal sama kami. Rata-rata laki-laki. Edo yang paling lama tinggal dulu; tidur ramai-ramai di lantai, makan satu piring, main lumpur tiada bosan, berenang tanpa baju.

Sesudah pindah ke perumahan guru pun masih ada yang ikut tinggal. Ya … memang antara waktu itu dan sekarang tidak bisa dikomparasikan; masa kecil, belum ada batasan, tidak kenal batasan. Tapi kebiasaan itu masih bertahan sampai sekarang, tidak semua.”

“Beda, Rus!” sembur Rosita emosi.

“Edo, Arif, dan semua yang akrab denganmu masih ada ikatan kekeluargaan. Walau bukan benar-benar sedarah, setidaknya atas dasar kalian pernah berbagi tempat tinggal, pasti rasanya sudah seperti saudara kandung. Wajar kalian dekat. Sementara Amir dan cewek-cewek itu? Dia saja baru masuk ke sini. Tidak bisa dibandingkan, Rus.”

Kekesalan Rosita melebihi Rusmana. “Bahkan setelah kuperhatikan, kau mulai jaga jarak. Sampai-sampai Edo kelihatan segan mau ganggu kau, merasa kau sengaja mengurangi kontak dengan mereka. Lantas Amir tidak peka dan masih akrab-akrab saja sama mereka? Tidak adil, Rus.”

“Bukan, bukan itu tujuanku jaga jarak, Ros. Tidak ada hubungannya dengan Amir, bukan kusengaja demi Amir,” kilah Rusmana.

“Terus buat apa? Alah, sudahlah. Kau harus tegur, Rus. Beritahu untuk jangan terlalu ramah sama perempuan lain. Hatiku saja panas lihat Hamid dekat cewek, meski sepupunya sendiri. Masa kau yang tengok Amir dikerumuni banyak cewek itu biasa saja?”

Merenung, Rusmana menjawab santai, “Memang biasa saja.”

Wajah Rosita berkerut. “Lembayung sekalipun? Mereka kelihatan akrab. Kau tak sakit hati?”

“Hm.”

“Hah, kau gila.”

Andai Rosita memiliki keberanian di balik keseganan itu, dia pasti telah mengamuk pada Amirrudi, menuntutnya memikirkan perasaan Rusmana daripada tertawa dan saling bercanda seperti itu. 

Aku memang gila. Aku berkata demikian, padahal aku tidak tahu apakah aku memang tidak sakit hati atau tidak sadar sedang sakit hati.

Rusmana menyimpan gerobak di dekat pintu masuk gudang. Walau bibir terkatup, apa yang ada di balik batok kepala itu amat riuh.

Benarkah Rusmana menanggapi pertemanan yang tergolong akrab antar lawan jenis itu biasa saja? Benarkah Rusmana tak sakit hati?

Bertanya-tanya dalam batin sekali-sekali: mereka cukup akrab, ya? Candaan apa yang membuat Amir tertawa selebar itu? Mengapa mereka tersenyum penuh arti sambil menunjuk Amir? Apa saja yang Amir beritahu kepada mereka? Adakah aku disebutkan?

Jika itu dianggap sebagai kecemburuan, maka dia cemburu. Namun, Rusmana meyakini bumbu pedas bernama cemburu itu tidak dia miliki dalam tatanan percintaan.

“Mustahil perempuan tak punya kecemburuan dalam hidup mereka. Tidak semata-mata terpaku pada kisah cinta, tapi juga pertemanan atau ikatan persaudaraan. Biar sedikit, pasti ada, Rus.”

Rusmana memalingkan wajah dari Rosita menuju Maya. Ekspresi itu tenang selama mendengar, sorot matanya berkilat ingin tahu.

“Kuberitahu, antara perempuan dan cemburu itu layaknya pergelangan tangan dan jemari. Sudah sejak diciptakan, jemari melengkapi tangan, agar bisa disebut ‘tangan’ dalam arti sebenar. Ketika kau berbicara tentang tangan, maka di sana ada jari-jari. Begitu pun ketika kita bicara soal perempuan, pasti ada cemburu barang setitik. Sudah sepaket, Rus.”

“Yang membedakan cuma kau ingin menganggap kecemburuan itu ada atau tidak.”

Rusmana menekuri butiran kering tanah. Selama ini dia peduli pada apa-apa saja yang mengelilingi Amirrudi, tetapi sebatas ingin tahu, tidak tergoda mendalami. Bagai ada hal utama yang Rusmana pikirkan dari sekadar kecemburuan.

Faktor yang baginya berpengaruh besar melampaui rasa cemburu atau emosi yang mencuat di hati.

“Kalau begitu, anggap saja aku cemburu, tapi tidak ingin dianggap cemburu,” pungkas Rusmana mengambil jalan tengah. 

“Bukan, bukan,” potongnya lagi mengoreksi, “aku mungkin cemburu, tapi enggan ambil pusing. Begitu saja.”

Maya kecewa, Rosita lebih kecewa. Harap mereka ialah agar Rusmana dimanja, dirayu, dikasihi tanpa sedikit celah buat sakit hati itu terbentuk, agar Amirrudi memperlakukan Rusmana selembut sutera.

“Bukan begitu caranya, Rus! Bahaya jika kaubiarkan, Amir punya daya tarik sendiri yang bisa bikin beberapa orang ingin berteman baik padanya. Mata yang berbinar itu sudah bukan lagi cara tepat memandang teman, tapi lebih dari itu.” Rosita berusaha memancing, baginya Rusmana harus bertindak. Sekali tegur tampak cukup, Amirrudi pasti segera mempertimbangkan.

Namun, tanpa pemberitahuan sedikit pun, Amirrudi takkan sadar. 

“Justru jika aku mengedepankan kecemburuan, semakin bahaya, Ros,” tolak Rusmana. “Aku sekadar menyakiti diri sendiri, menggores luka di hatiku sendiri. Tidak sedikit kulihat hubungan hangus karena api cemburu, tengkar setiap hari, seakan membatasi geraknya. Aku tidak mau menyebabkan masalah.”

Kedua pendengar itu tercenung, mengatup rahang rapat diiringi hela napas pasrah. Andai prinsip itu bisa diretakkan, maka Rosita akan mengambil palu dan menghantamkannya sekarang juga. Namun, Rusmana adalah Rusmana: kehendaknya keras, stabil pendiriannya.

“Apa ini? Tegang sekali. Serius benar bahas cemburu-cemburu. Memang siapa yang cemburu?” timpal Noviyanti, di belakangnya ada Sari, Yuyun, dan Tina menyusul.

Lihat selengkapnya