Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #14

13 | Firasat

RUSMANA melepas sepatu bot, jam dinding telah menunjuk angka lima. Langit sore masih tampak cerah, angin bertiup ringan memanjakan wajah.

Membawa satu baskom besar yang menampung pakaian kotor beserta peralatan mencuci; sikat dan sabun colek, Rusmana bersuara saat melihat sang ibu keluar dari rumah membawa parang.

“Mau ke mana, Ma?” 

“Aku mau cari kayu dulu. Kayu di dapur tinggal sedikit, tidak cukup sampai besok. Kita juga belum memasak, sebentar lagi adik-adikmu pulang.” Rabiah menutup pintu tergesa-gesa.

“Mama sendiri aja?”

“Dan si Diana aku.”

Seandainya cucian tidak menumpuk, Rusmana yang akan mencari kayu bakar, mengumpulkan dahan-dahan kering di tepi atau masuk sedikit ke hutan.

Gadis itu menarik langkah menuju tepian sungai. Bersama helaan napas, kedua tangannya melepas genggaman pada baskom.

Tak jauh dari tempat Rusmana mengeluarkan satu demi satu pakaian kotor, anak-anak yang berkisar antara tujuh hingga sembilan tahun asyik berenang-renang di area tepi. 

“Sebentar lagi habis,” gumam Rusmana membandingkan isi sabun colek dengan pakaian-pakaian kotor yang masih ada. 

“Sudah mau magrib, kalian belum naik, kah?” tanya Rusmana menatap anak-anak yang masih tertawa riang. Langit yang terpampang lebar puncak kepala sudah mengurangi kadar cahayanya.

Sekali lagi Rusmana berbicara, “Nanti dicari mama kalian, sebentar lagi senja.” Tangannya menunjuk ke atas.

Mendengar itu, beberapa anak langsung berlarian pulang, beberapa lagi bertahan.

Dug! Dug! Dug!

Seseorang memukul beduk masjid yang jaraknya beberapa meter dari sungai.

Allahu akbarAllahu akbar ….” 

“Sudah azan,” bisik Rusmana seorang diri. Pandangannya menangkap sejumlah lelaki berumur setengah abad menapak jalan menuju bangunan kayu membawa sajadah di masing-masing bahu.

Rusmana berdiri meregangkan tubuh. Rasa-rasanya seperti tulang bengkok berpuluh tahun baru diluruskan. “Capek juga.” 

Tepat saat itu, suara mesin ketinting terdengar mengalun akrab. Mengangkat baskom ke pelukan, Rusmana meninggalkan tepian. Dia berhenti sebentar memandangi kedua adiknya yang baru datang. 

Wajah mereka terlihat lelah, baju lusuh dan kotor. Dengan melihat saja Rusmana sudah dibuat letih membayangkan harus mencuci pakaian kotor sang adik.

“Perahumu masih bocorkah, Par?” tanya Rusmana dari seberang. Biasanya Hamid dan Sapardi akan menggunakan perahu masing-masing.

“Iya, besok mau kuperbaiki,” jawab Sapardi. Dia mengambil peralatan menebang pohon yang Hamid serahkan. 

Tak ingin berlama-lama, Rusmana memperbaiki posisi pelukannya pada baskom. Ketika setengah basah, beban itu bertambah berat.

“Baru selesai cuci baju, Rus?” sapa Mariana keheranan.

Senyum Rusmana merekah, padahal sebelumnya dia sedang mengeluh keberatan. “Iya, Kak. Celana-celana jin adikku yang banyak, jadi lama nyucinya.”

“Astaga, sampai malam kau cuci baju. Kenapa bisa?”

“Aku baru pulang kerja sore tadi, Kak. Makanya baru selesai.”

Mariana menggeleng-gelengkan kepala. “Tunggu sebentar, Rus!”

Rusmana urung meneruskan jalan. Selagi menunggu, dipindahkannya letak memanggul baskom.  Tak lama Mariana keluar membawa kantong plastik hitam, turun dan memberikannya pada Rusmana.

“Apa ini, Kak?”

“Kue bangke. Kue orang Bugis. Aku sering buat di Sungai Nyamuk.”

Rusmana sempat terkejut pada nama kue barusan, hampir saja jantungnya jatuh. Ingin sekali dia mengintip perwujudan kue tersebut. Mariana meletakkannya di atas tumpukan baju.

“Enak itu. Kukasih kau dua jenis, yang kacang sama kelapa parut sangrai.”

“Makasihlah, Kak.”

“Iya, sama-sama. Titipan mamaku lewat Tante Damayanti tadi, ada yang pesan kue bangke katanya di sana. Jadi sekalian dia kasih, anakku suka kue bangke. Karena dia kirim banyak, sekalian saja kubagi-bagi. Mungkin kau belum pernah coba.” 

“Memang aku belum pernah coba, Kak. Terima kasih.”

Rusmana pamit dan pulang bersama kedua adik yang kebetulan lewat. Sampainya di rumah, dia tak sabaran mencoba kue yang berbentuk bulat gepeng dengan permukaan bertekstur.

Kering dan renyah, Rusmana sudah tergoda dengan aromanya. Begitu dirasa, makin sukalah dia. 

“Nanti kalau ada uang, kita bikin Talinga Sagayi. Baru kita kasih ke dia,” ucap Rabiah berniat membalas pemberian Mariana.

Rusmana setuju. Kue Talinga Sagayi sudah menjadi kegemaran mereka, seluruh penghuni Barimbang dan kampung-kampung sebelah akrab dengan kue satu itu. Ia terbuat dari gula merah dan tepung beras yang ditumbuk, lalu dibentuk angka delapan yang langsung digoreng.


MENYUDAHI suapan terakhir, Rusmana membasuh tangan. Mereka duduk mengelilingi meja, makan tengah hari di waktu rehat kerja. Baru selesai meneguk air sekitar tiga, ingin tak ingin Rusmana menarik bibir dari botol minum. Hampir seluruh kepala yang ada berbalik menyorot keributan di belakang mereka.

Lihat selengkapnya