Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #15

14 | Gotong Royong

SATU hari sebelum acara, Rusmana dan teman-teman sebayanya telah menenteng tas berisi keperluan menginap di kamp Persemayan. Masing-masing senyum merekah saat menjumpai gerbang masuk, menerawang keseruan macam apa saja yang akan terjadi.

“Kalian jadi bermalam?” tanya Sappar, meski tak menyebutkan nama, tatapannya tertuju pada Rusmana. 

Rosita menyahut, “Tidak lihat kami sudah mengangkut barang begini? Kurang saja selimut dan bantal.”

“Pemarah benar kau ini, Ros.”

“Alah, lebay kau. Tinggi sedikit suara perempuan, langsung kau kata pemarah.”

“Oh, karena yang lembut cuma Rusmana.”

Pemilik nama mengerling, tidak menanggapi ucapan Sappar, tak pula berusaha mencari tahu tujuannya. Semakin ditanggapi, semakin menjadi, pikir Rusmana.

Rosita tertawa mendapati pancingan Sappar tak diindahkan, dia mengejek menjulurkan lidah sebelum berlari menyusul Rusmana. Sedang Sappar mendecakkan lidah, membuang muka.

Fatimah, penjaga kantin depan berseru, “Noviyanti!” Di mana bukan hanya membuat Noviyanti menoleh, melainkan mereka semua.

“Sini, sini dulu kalian!” Fatimah melambai-lambaikan tangan.

Serentak saja kaki-kaki berbalut sepatu bot itu menggiring langkah menuju kantin satu-satunya wanita yang berkerudung di sana. Fatimah tampak sudah menunggu mereka sejak lama, dia berdiri di depan kantin sambil terus menatap rombongan perempuan tersebut. 

“Kemarin Mbak Eka menitip pesan, kalau kalian datang langsung saja taruh barang di kamp.”

Mengangguki perintah, mereka berjalan sedikit lebih jauh dan meletakkan keperluan di kamp perempuan. Hari ini mereka tak bekerja sebagaimana biasanya, melainkan bergotong royong mengosongkan dan membersihkan gedung. Merapikan tempat itu karena akan digunakan sebagai lokasi pernikahan berlangsung. 

Para pekerja laki-laki akan mengangkut barang, mengosongkan gudang dan tugas perempuan membersihkan gedung sampai pantas dinyatakan siap pakai kemudian mulai didekorasi. 

Sebagian mengisi dapur umum, menyiapkan bumbu dan bahan-bahan masakan untuk acara. Sebenarnya area yang paling ramai dan akan terus aktif sebelum hingga acara selesai hanyalah bagian dapur—setelah dibangun sedikit lebih besar agar muat banyak. 

“Rosita ke mana?” tanya Maya.

“Di dapur ikut bersihkan dan memotong bumbu, sayur, daging sapi, rusa, dan ayam,” jawab Rusmana lengkap.

Maya manggut-manggut, dia tak ingin heboh di dapur sebab merasa sesak, oksigen itu berbaur dengan menyengatnya bau bawang dan daging mentah dan amis. Maya pun memutuskan membawa sapu membersihkan wilayah yang kotor penuh tanah.

“Aku mau sapu di sana.” Maya beringsut menjauh.

“Kau ikut jagakah, nanti?”

Rusmana menoleh, dia menemukan Amirrudi berdiri di sampingnya, refleks gerakan mengayuh sapunya terhenti. Rambut-rambut keras itu tak lagi menggulung dasar gudang, diam di tempat.

Pria itu mengangkat beberapa tumpuk kursi plastik untuk disediakan dalam gedung sebelum ditata oleh pendekor pesta pernikahan. 

Berdeham ringan, Rusmana menjawab, “Satu kamp sama Sari, Maya, dan Lembayung.”

“Rosita? Tumben tidak sama dia juga.”

“Rosita sudah ditarik Tina agar satu kamp dengannya. Jadi Lembayung yang menggenapkan kami.”

Amirrudi menanggapi jawaban tersebut dengan anggukan. “Kenapa kita tidak satu kamp saja?” tanyanya dengan santai, seolah kalimat itu tak berdampak pada suasana hati sang kekasih.

Manik mata Rusmana melebar. “Yang benar kalau bicara,” balasnya mengangkat sapu, siap memukul Amirrudi.

Secara impulsif kedua tangan Amirrudi melindungi kepala seraya tertawa tanpa dosa. “Eh, pikirannya aneh-aneh. Padahal bukan itu maksudku.”

“Maksud apa? Aneh-aneh apa? Kau itu yang aneh.” Rusmana memukulkan sapunya pada betis Amirrudi, pria itu tak mengaduh.

“Kalau mau mengganggu, mending pergi sana! Kau susun saja kursi itu cepat!” usir Rusmana masih memukuli betis Amirrudi yang makin tertawa geli.

“Nanti aku kembali.” Pria itu berlalu dengan sisa tawa.

Tanpa sadar Rusmana mengunci tatapannya pada punggung Amirrudi yang berjalan menjauh sambil menahan senyum. 

“Eh, Rus!” panggil Yuyun dari kejauhan.

Rusmana berbalik. “Kenapa?”

“Temani aku ke tepian. Cuci taplak-taplak meja sekalian cari Tina, belum ada balik dia.”

“Memangnya dia ngapain ke tepian?”

“Tidak tahu dia di tepian atau tidak. Katanya disuruh ke warung sama orang dapur, beli sesuatu. Tapi lama betul munculnya, dia sudah ditunggu.”

Karena khawatir, Rusmana pun menemani. Maya dan Noviyanti pun tak ingin tertinggal. Mereka keluar dari gerbang belakang Persemayan menuju kampung yang menjadi jalur menuju tempat menyemai bibit pohon tersebut.

Tak disangka Amirrudi dan dua temannya turut meninggalkan wilayah Persemayan.

“Mau ke mana?” tanya Amirrudi langsung menggamit lengan Rusmana.

“Tepian. Kalian ke mana?”

“Tepian juga. Ambil beras sama barang lain, Om Jupri yang belanja.” Amirrudi memandangi pergelangan Rusmana yang kosong. “Eh, gelang yang kuberi kemarin mana? Tak kau pakai?”

Rusmana mengangkat tangan setinggi perut, menerawang sekecil apa tulang pergelangan di balik daging dan kulit sawo itu. “Ketinggalan.”

“Kenapa bisa ketinggalan?” Amirrudi melepaskan gelang yang terbuat dari kayu gaharu dan memindahkan hak milik kepada perempuan berambut sepanjang bahu di samping. Tangannya dengan lembut menyentuh kulit sang kekasih.

Lihat selengkapnya