BUNYI mesin lampu di mana-mana, Rusmana bangun karenanya, mandi lebih awal dan mengenakan pakaian biasa terlebih dahulu. Dia sekamar dengan Rosita, karena tak ingin tidur sendiri.
“Paginya kau mandi, Rus. Tak menggigil?” tanya Rosita.
“Mengigil sedikit. Tapi tidak enak kalau tak mandi.”
“Kau mau ke dapur umum? Sama-sama kita.”
Rosita berjalan di samping Rusmana, ketika mereka keluar Maya muncul ikut menyambangi dapur umum. Mereka bergabung bersama ibu-ibu yang telah beraksi semenjak subuh di tenda khusus memasak dan mencuci piring kotor. Terdapat satu juru masak, orang yang katanya datang dari luar kota.
Rusmana membantu mengaduk masakan, menyiapkan daging dan sejenisnya. Tempat itu tidak hanya dipadati oleh para wanita, melainkan peralatan masak juga bahan masakannya. Mereka bergotong royong sampai matahari mulai menampilkan cahaya kemerahan yang malu-malu.
Para lelaki ada yang sibuk menanak nasi dalam panci besar di atas dapur kayu. Beberapa lagi membantu menata kursi, menjaga mesin lampu apabila sewaktu-waktu mati atau kekurangan minyak, beberapa lagi mengatur salon—pengeras suara—pada posisi yang mengarah ke luar dengan tusukan kabel yang tepat.
Acara dimulai pukul sembilan, dari akad nikah, sungkeman, sampai resepsi. Tamu berdatangan, area parkir bahkan terasa bagai senantiasa penuh. Satu pulang, maka satu lagi akan datang. Rusmana yang baru saja duduk, harus berdiri lagi untuk menyambut tamu yang berdiri di hadapan meja dan mengambil makanan.
Memukul-mukul punggung, Rusmana mengeluh, “Ah, punggungku sakit. Penat sekali rasanya.”
“Tamunya tidak habis-habis, ya,” sambut Lembayung yang kelihatan lesu.
Rusmana khawatir Lembayung jatuh sakit setelah ini. “Kau sudah makan? Perasaan aku baru lihat kau menyuap nasi sekali. Nanti perutmu sakit, Yung.”
“Tidak nafsu makan, Rus. Apalagi tamu muncul terus.”
“Memangnya perutmu tidak sakit?” timpal Rosita.
“Makan saja, biar aku yang jaga area kita berdua. Kau lesu sekali.” Dahi Rusmana berkerut.
Atas desakan teman-temannya, Lembayung akhirnya patuh.
“Kau mau makan apa? Biar kuambilkan. Takut kau pingsan.”
Walau sama letihnya, kemeriahan acara membuat lelah itu berada di baris nomor dua, mengurungkan niat untuk kabur ke kamp dan berbaring sebentar. Mereka saling menghibur diri, mengipasi wajah dengan kardus, dan melamun kala kebosanan melanda.
Makan, mengobrol ke kiri dan kanan, Rusmana yang kini duduk di antara Maya dan Sari terlihat asyik menikmati pesta pernikahan semenjak dimulai hingga malam kembali menyapa. Lembayung mereka paksa istirahat.
Langit telah pekat, embun malam mulai naik berterbangan ke sekitar. Namun, kesunyian belum berhenti sebab mesin lampu masih bergetar dan berbunyi, salon-salon masih mengeluarkan musik dan nyanyian.
Para pekerja yang membagi jasanya tengah menikmati makanan, beberapa jenis sajian telah habis tak bersisa. Rusmana mengikuti Maya yang memasukkan sejumlah makanan ke dalam mangkuk, juga Sari. Mereka diminta membawa untuk dimakan di kamp.
“Sayang sekali, udangnya habis paling awal,” ucap Rusmana yang mengincar udang goreng. Dia sudah mengganti baju, duduk membentuk lingkaran bersama yang lainnya dan memegang piring berisi nasi putih dingin.
Rosita cemberut. “Iya, aku juga pengin urapnya. Tapi pas kuperiksa, malah sudah kosong.”
“Tapi biasanya urap cepat habis, ‘kan? Yang begitu tidak bisa bertahan lama-lama, bukan jenis makanan yang bisa dipanaskan, cepat basi.”
“Ya, siapa tahu ada yang masih menyimpan bahan-bahannya walau sudah tidak lengkap. Aku suka urap.” Maya yang juga mengincar urap memasang raut murung.
Para gadis duduk saling berdempetan, bahkan Rosita memilih makan di atas tempat tidur saking tak muatnya. Mereka memaksa makan ramai-ramai. “Lebih nikmat,” katanya.
Semua berlalu sepi sebab sibuk terhadap kunyahan masing-masing, sampai Lembayung yang memang sejak tadi tidak terlihat muncul membawa rantang dengan senyuman lebar.
“Teman-teman, lihat apa yang kubawa,” ujarnya antusias.
Seluruh atensi langsung jatuh pada Lembayung. Gadis cantik itu membuka mata jernih, wajahnya cerah sekali.
“Apa itu? Kau bawa apa?” tanya Sari masih menampung makanan di dalam mulut. Suaranya tertahan di antara nasi dan daging. Seandainya tidak mengenal, mereka akan sulit menerjemaskan apa yang barusan Sari ucapkan.
Mengangkat penutup rantang, Lembayung memamerkan hasil buruannya di dapur. Beberapa potong udang goreng, ayam, dan urap pakis yang masih segar—tumbuhan paku ini banyak tersebar di pinggiran sungai yang mana tidak sedikit warga kampung akan mengumpulkan dan menjualnya di pasar.
Mendapati itu, seisi kamar lantas bersorak senang. Terkikik, Lembayung bergabung dan menyendok nasi sembari bercerita, “Aku tadi kabur ke dapur umum. Ternyata ibu-ibu dapur sudah menyimpan sebagian untuk dimakan sama-sama, takut tidak kebagian katanya gara-gara banyak tamu dari tadi. Ternyata walau tidak banyak, memang masih ada sisa. Nah, pas Bu Fatimah kasih aku ayam sama urap untuk kita, kumintalah sedikit udang. Pasti kalian mengincar ini, ‘kan?”
Rusmana yang mengangguk paling semangat. Tangannya telah menjumput dua potong, menikmati dengan sisa nasi di piring, membiarkan saling berbagi. Leher Rusmana hanya menginginkan udang tersebut, maka satu jenis sajian itu cukup untuknya.
“Mantap sekali, Yung. Tidak salah kami suruh kau istirahat duluan.” Maya mengacungkan jempol.
Lembayung tersenyum senang, bangga pada pencapaiannya malam itu. “Aku juga dipanggil Mandor Linda tadi, katanya kalau mau kue pernikahan, ambil ke atas, masih banyak.”
Sari menepuk-nepuk lantai. “Ambil, Yung. Ambil!” pintanya ingin sekali mencicipi kue pernikahan.