Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #17

16 | Sebuah Penafian

“JANGAN berjanji jika tak mampu menepati. Jangan betutur manis jika pahit kauberi. Jika tak lagi kuat, lepas tali yang mengikat perahu itu. Dia benci mengadu pada hal yang tak dia mau,” ujar Amirrudi mengutip empat kalimat yang Rusmana sertakan dalam surat beberapa hari lalu.

Kedua insan itu duduk berhadapan, meja yang menengahi menjadi nampan dua gelas es jeruk. Mengambil waktu lapang di kantin, Rusmana memenuhi ajakan Amirrudi untuk mengobrol berdua.

Para pekerja yang turut mengisi kantin tidak mengganggu perbincangan serius mereka. Rusmana membuang wajah di antara bulir air pada tepi gelas, saat tak lagi menampung beratnya ia mengalir turun ke permukaan meja dengan cepatnya.

“Aku penasaran apa maksudnya itu.”

Dengan gerakan kecil Rusmana menggeleng. “Bukan apa-apa. Tiba-tiba terpikir dan tertulis di sana. Ingin mencoretnya, aku tidak mau merusak pesona suratku. Tidak juga mau menulis ulang. Jadi kubiarkan di sana. Aku tidak tahu akan membebani pikiranmu.”

“Pasti ada alasan.” Amirrudi kukuh pada kira-kira bahwa ada sesuatu di balik rentetan kata barusan. Dia tahu Rusmana takkan menulis sesuatu yang tiada arti.

Terkekeh canggung, gadis itu membalas, “Tanganku bergerak sendiri. Kau tahu, mungkin masih terbawa suasana duka.”

“Itu sudah cukup lama, mengapa bisa terbawa sampai sekarang?”

Bahu Rusmana terangkat singkat. “Apa sepenting itu? Kau berpusat pada kata-kata yang tak punya arti. Bagaimana kalau kita bermain sambung kata sekalian? Ah, bukan, sambung puisi? Teruskan yang kutulis, kau pasti bisa mengubah suasananya.”

Amirrudi memandangi Rusmana lama, membuat perempuan itu mematung gugup. Andai otak bisa berpikir jernih, dia ingin memelesetkan suasana, mencairkan kebekuan yang mencekik. Sekarang dia berharap Noviyanti tiba-tiba muncul di antara mereka seperti biasanya, atau siapa saja yang bisa menyeretnya keluar dari situasi tegang sekarang.

Rusmana menggaruk pipi kanan, menatap ke kiri mencari objek yang bisa membuatnya sedikit lebih tenang. Mengalihkan diri.

“Aku serius soal omonganku waktu itu. Tapi tidak semudah yang kubayangkan, uangku sulit terkumpul. Geraknya pelan sekali, hampir tidak terlihat ada pergerakan.”

Kerutan tercetak di antara kedua alis Rusmana. 

“Biar kuperjelas, aku yakin untuk meneruskan niat seriusku padamu, Rus. Aku mau kita sama-sama melangkah ke tahap yang lebih menegangkan. Di mana semua itu butuh persiapan dan perlahan aku mulai menyiapkan.”

Tak ada yang bisa Rusmana tunjukkan selain kedipan berulang. Entah mengapa, gadis itu merasa tidak nyaman. Dia berpikir bahwa pengakuan Amirrudi akan mendapatkan ruang sendiri di kepalanya, ruang yang amat besar dan akan menggabungkan banyak perkara yang pun telah membebani selama ini.

“Alasanku tak lagi membahasnya setelah waktu itu, karena aku tak ingin membuatmu berharap sementara ternyata tabunganku tak jua bertambah. Seorang pria tidak semestinya sembarang membuat janji pada wanita, aku takkan tahu beban apa yang sudah kusebabkan karena janji itu. Tapi, aku terlalu bersemangat dan terlanjur memberitahumu niatku,” tutur Amirrudi panjang. Air mukanya masih menggambarkan keseriusan.

“Kita akan terus saling mengenal, mendalami pikiran masing-masing. Ada hal yang menurutku sangat membebani pikiranmu, tapi kau belum mau bercerita apa-apa.”

Mendengar itu, Rusmana lekas membenahi posisi duduk, udara dia hirup dalam-dalam beserta tutur kata Amirrudi setelahnya.

“Tidak, aku tidak memaksamu bercerita. Simpanlah jika memang ingin kausimpan. Sampai kapanpun aku bersedia menunggu, bahkan kalau itu memakan waktu yang lama. Sudah kakek nenek sekalipun.” Amirrudi terkekeh, sedang Rusmana mencoba membaur dalam canda tipis yang baginya sama sekali tidak menggelitik.

Menelan saliva, Amirrudi mencoba menembus manik cokelat Rusmana yang kabur-kaburan darinya. “Aku hanya ingin berkata kalau niat seriusku bukan kelakar. Aku membayangkan bahwa proses ini akan terurai panjang. Jadi, kalau kau memiliki ingin yang sama, mari kita teruskan.”

Tidak terbayangkan waktu istirahat kerja dimanfaatkan sebagai latar obrolan yang seserius itu. Tatapan, nada bicara, tergambarkan sangat intens. Bibir Rusmana seakan dikunci oleh ketakutan, namun dipaksa terbuka oleh bisikan hati.

Amirrudi menambahkan, “Jika inginmu berbeda, maka lebih cepat lebih baik. Daripada semua jadi percuma.”

“Aku senang,” serbu Rusmana takut Amirrudi beranggapan lain atas diamnya.

Kepala gadis itu mengangguk berulang dalam waktu cukup lama, sesekali dia tersenyum, mencoba menggambarkan bahwa perkataannya bukan bualan.

“Aku senang kau akhirnya memperjelas semua. Ini … yang aku tunggu-tunggu. Sekarang aku tidak lagi kepikiran, membayangkan ini dan itu. Benarkah yang kau katakan? Adakah tujuan lain dari kata-katamu hari itu?”

Amirrudi menyimak, meneliti kerutan dan kedipan sang kekasih.

“Sekarang aku sudah mendengar semuanya. Jadi, aku tidak perlu bertanya-tanya setiap mau tidur supaya tidak terbawa mimpi.”

“Maka jawabnmu?” tanya Amirrudi hati-hati.

Rusmana mengangguk dan tersenyum lebar. “Mari kita lanjutkan. Aku pun merasa bahwa proses ini akan sangat panjang dan tak mudah. Terutama bagiku.”

Amirrudi mengembuskan napas kelegaan. “Kau tahu? Kurasa kakaku menyukaimu.”

“Begitukah?”

“Ya. Di beberapa kesempatan saat aku turun ke kampung, dia kedapatan sering mengamatimu.”

“Jadi kau ikut mengamatiku?” 

Amirrudi tertawa diikuti Rusmana. “Aku ‘kan memang sering mengamatimu.”

Kedua mata Rusmana menyipit. “Kau penguntit.”

Lihat selengkapnya