Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #18

17 | Yakin Akanmu Bertambah

AMIRRUDI sangat terbuka, perkataan Mariana telah bersemayam di telinga Rusmana.

“Mariana sangat mengandalkan firasat. Intuisinya banyak terpakai, sering tepat sasaran.”

“Menurutmu aku tidak normal?”

“Kau perempuan dan sikapmu normal. Aku setuju pada intuisinya selama bisa diterjemahkan dengan logika, tanda-tanda yang dia bicarakan merupakan arti dari bahasa alam, sesuatu yang dirujuk dengan ilmu pengetahuan. Bukan teori asal berdasarkan perasaan, apalagi berurusan dengan sifat yang tak serta-merta selaras dengan isi hati. Seperti menilai amanat dalam sebuah buku melalui sampulnya.”

“Tapi intuisi seseorang tak semata-mata patut diabaikan, ‘kan? Lebih-lebih katamu intuisinya selalu terpakai.” 

“Bisa,” ujar Amirrudi yakin. “Kau normal.”

“Tidak, kurasa aku memang tidak normal.”

Amirrudi menerawang sorot mata Rusmana, dia mencoba merangkak masuk ke sana, memahami pola pikir sang gadis. “Kalau begitu, aku suka ketidaknormalanmu. Kalau katamu kau aneh, maka aku menyukai keanehanmu. Semua tentang dirimu, aku suka.”

Rusmana terkejut, tak menyangka kalimat itu yang Amirrudi lontarkan. Dia menduga Amirrudi akan marah pada ketidakpercayaan dirinya, protes atau semacamnya, tetapi justru menyapu ketakutannya.

“Jangan terpengaruh, aku tidak peduli pendapat Mariana. Dia hanya sudah terlanjur menyukai orang lain, mengajukanku kepada perempuan lain. Dia telah berekspetasi aku menyatukan kemampuanku dengan sifat yang demikian, yang dia rasa cocok padaku, tidak pernah membayangkanku akan menyatu dengan gaya hidupmu.”

Rusmana berpikir, siapa perempuan lain itu. Sebuah nama muncul sekelebat, secepat itu pula Rusmana meninggalkannya, tak ingin kembali larut. “Kau yakin berkata begitu? Tentang semua yang kau suka dariku?”

“Yakinlah!” 

“Tidak akan menyesal?”

Dahi sempit Amirrudi berkerut. “Kenapa menyesal?” tanyanya balik. “Apa yang pantas disesali dari menginginkan perempuan sepertimu? Justru melepasmu akan menjadi penyesalan terbesarku, Rus.”

Tertunduk malu, Rusmana berani tersenyum. “Baiklah, kalau itu yang kau katakan. Buktikan perkataanmu.”

“Oh, aku takkan berjanji kalau tak mampu memenuhi. Tunggu saja.”

Bunga kembali berkemakaran mengelilingi hati Rusmana. Walau tinggal setitik, ketakutan gadis itu akan masa depan terkubur kian dalam, di bawah akar berduri. Dia siap memberi yang terbaik untuk Amirrudi, seiring pembuktian lelaki itu akan pujaan-pujaannya terlihat.

Kala berpaling dari wajah Amirrudi, senja menyambut. Langit berganti warna keorenan, burung beterbangan, sebuah perahu membelah sungai. Pemandangan yang indah atas ikrarnya sebuah janji.

Begitu malam tiba, mereka beranjak dari rumah Nenek Irma, jalan beramai-ramai menuju Gor Pemuda. Kendaraan amat minim, pejalan kaki memenuhi nyaris seluruh sudut kota.

Di salah satu stan makanan, Rusmana disapa oleh Hamdan, kakak pertama Amirrudi bersama istrinya—Risma. Sebelumnya mereka pernah bertemu dan keakraban itu melebihi obrolan Rusmana dan Mariana. Ternyata perbedaan itu jelas, antara yang benar-benar merestui dan tidak.

“Nanti kami jalan-jalan ke Barimbang. Habis lahiranlah kira-kira,” ujar Risma ramah, senyum terus terukir di bawah kedua mata yang menyipit.

“Kutunggu, Kak Risma. Mampir ke rumah nanti.” Rusmana menatap perut besar Risma.

Kontras benar, mengapa aku tak peka? Dari cara menatap dan berbicara saja berbeda. Mestinya sudah bisa kuterka kalau Kak Mariana tak menyukaiku. Akankah dia merestui nanti?

Pelukan hangat menutup perpisahan mereka, Rusmana memenuhi ajakan Amirrudi untuk kembali berkeliling. Kala semua terkumpul sebagaimana semula, kepuasan dalam kunjungan sudah didapatkan, mereka menyambangi kediaman Nenek Irma sekali lagi.

Paginya barulah mereka menunggangi perahu, pulang ke kampung. Hari-hari tanpa bekerja di Persemayan mulai tiada lagi aneh bagi Rusmana, dia mulai terbiasa. Mengatur waktu antara kerja dan mengurus rumah tidak pernah memusingkan Rusmana lagi, fokusnya telah terkunci pada satu pekerjaan.

Kala lapang, dia menemui teman-teman dan mengobrol dan bercanda sampai sore. Tetap Rusmana harus ingat pekerjaan di rumah yang menanti, makan malam belum dimasak.

“Sekarang bagaimana antara kau dan Amir? Sudah lama kalian bersama. Adakah bisik-bisik rencana baru untuk hubungan kalian?” Maya memainkan kedua alisnya. Dia berharap setelah ini menerima kabar gembira, akan segera hadirnya tenda biru di kampung.

Menggeser pandangan kepada Maya, Rusmana meneliti benda kecil berwarna putih yang ada di puncak kepala sang sepupu.

“Maya, aku penasaran,” tutur Rusmana alih-alih menjawab keingintahuan Maya.

Keduanya duduk di muka rumah Rosita, menunggu pemilik rumah yang ditemani Sari menjemput Noviyanti. Mengambil buah, katanya.

Menyantap rujak buah ditemani sore yang teduh, merupakan agenda mereka sore ini. Hujan baru beranjak dari kampung, menyisakan tanah basah dan kesegaran pohon-pohon.

Sebenarnya Rusmana berniat mencuci baju, tetapi Rabiah berkata, “Sabun kita habis, besok saja sekalian pas adikmu pulang dari menjual ikan. Mudahan saja tangkapannya banyak dan laku.”

Air muka yang siap menggoda Rusmana sirna dari wajah Maya. “Penasaran soal apa?”

“Menurutmu aku berubah?”

Maya tidak langsung menjawab, terselip jeda di sana. “Kenapa tiba-tiba bertanya?”

“Penasaran saja.”

“Hm … Terhitung dari aktifnya cengkeramamu sama Amir, kau banyak tertawa. Mukamu cerah setiap hari. Kupikir, biasalah, namanya orang sedang jatuh cinta, bawaannya riang terus. Apalagi semenjak kita tak lagi bekerja, kalian jadi lebih sering bertemu. Makin sering pula kau tertawa di sampingnya.”

Lihat selengkapnya