Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #19

18 | Jangka

TATKALA melewati pertengahan tahun sembilan delapan, langit memanggang yang dinaunginya, memantik bunga-bunga pada pohon buah tahunan mencuat akibat panasnya. Biasanya pohon-pohon mangga Barimbang yang lebih dahulu memancing kedatangan serangga pengincar nektar.

Panas itu membuat perempuan yang rambutnya telah memanjang hingga bawah dada di atas perut menggulung helai-helainya di belakang leher setiap hari, sebagaimana teman-teman lain mencegah rambut mereka menutup kulit yang biasa tampak dari tiupan angin sedikit pun. Gerah di leher tidak mengenakkan.

Di antara riuh obrolan dan kecap lidah yang melilit pisang goreng dan singkong goreng colek sambal, Rusmana mememandang kedatangan Amirrudi. Pria itu mengenakan kaos merah, celana putih dan sepatu putih. 

“Ada hal penting yang mau kusampaikan,” katanya dua hari lalu sebelum pamit bermalam di rumah kedua orang tuanya di kota. Rusmana tidak tahu apa itu, dia dibiarkan ditimpa penasaran selama dua hari. Sekarang dia akan bertanya sedetail mungkin ada apa.

Sandal yang telah buram warnanya menimpa dedaunan kering, menghasilkan bunyi setiap Rusmana menginjakkan kaki. Dia jalan sedikit menjauh dari kerumunan, eskpresi serius Amirrudi bagai akan membocorkan rahasia negara, alhasil mereka perlu menepi dari perkumpulan.

“Kau baru datang langsung ke sini? Tanpa ganti baju?” buka Rusmana.

“Tidak perlu.”

“Kukira pulang pagi tadi.” 

Amirrudi melengkungkan garis bibir ke bawah sesaat. “Ikut Om Jupri, habis belanja isi warung. Sedang untung-untungnya, memborong.”

“Mau bicara hal penting apa?” tanya Rusmana tak kuasa menahan sabar. 

Menatap lawan bicaranya, Amirrudi mengenggam tangan Rusmana. Dia membuka dengna berkata, “Kau tahu gaji yang kita dapat dari Persemayan dulu tidak seberapa, bukan?”

“Kurang pantas disebut gaji buat kami-kami ini, sebut saja upah setor utang. Gaji yang tinggal di tangan hanya cukup beli beras, gula, dan teh atau telur.”

Amirrudi terkekeh. “Apalagi aku baru masuk sudah berhenti, walaupun alasanku betah karena satu tempat kerja dengamu.”

Rusmana mengalihkan wajah, saat Amirrudi menatap tepat di matanya. “Karena keseringan kerja-pindah, kerja-pindah. Giliran ketemu yang cocok, pekerjaannya yang mempermainkan kau.”

“Begitulah.” Amirrudi menyelatkan jeda. “Hampir tidak punya tabungan. Sementara aku tidak mau kau meragukan keseriusanku.” 

 “Tidak apa. Aku juga tak terburu-buru. Malah mungkin, aku menyarankan Hamid dan Sapardi duluan," balas Rusmana jujur. 

Dia ingin berkata bahwa andai boleh meminta, Rusmana ingin tujuan menabung itu bukan untuk rencana keseriusan mereka. Rusmana enggan dijadikan sebagai alasan, merasa tak pantas. 

Lagi pula pikirannya akan pernikahan masih jauh, terlalu jauh malah. Rusmana sampai bingung mencari benih pemancing hasrat menaiki bahtera rumah tangga ke mana lagi. Pikirannya masih terkunci pada sang ibu dan adik-adik, pada dirinya sendiri.

“Hamid juga sempat bilang kalau dia sedang mengumpulkan uang untuk melamar Rosita. Selagi orang tua Rosita tidak menetapkan syarat yang tinggi, kuharap cepat terkumpul. Ragu benar aku mereka rela Rosita diambil Hamid tanpa jaminan besar.”

“Tapi aku mau kita nikah secepatnya,” timpal Amirrudi buru-buru. “Aku mau hidup sama kau selama-lamanya. Aku mau setiap keluar rumah kau yang kulihat, ketika pulang pun kau yang menyambut. Aku mau kaulah pembuka dan penutup di hidupku.”

“Tapi … tapi ‘kan, tabungannya belum terkumpul,” balas Rusmana terbata-bata, sambil melirik ke sana ke mari, gagal tidak terlihat salah tingkah.

Amirrudi mengulum senyum, pikiran konyolnya berharap Rusmana langsung berdiri dan mengajaknya kawin lari. 

Setelah menjernihkan pikiran, Amirrudi berbicara dengan nada bersalah, “Aku mau jaga sarang.”

Rusmana menoleh kilat. “Ikut naik ke atas jaga sarang?” tanyanya ulang. 

Sebagai orang yang cukup mengenal Amirrudi, Rusmana tiada terkejut pada keputusan tersebut. Pria itu suka mencoba hal baru meski terkesan berbahaya. Hanya saja, Rusmana tidak menyangka itulah yang Amirrudi pilih, sementara kebanyakan pribumi sendiri enggan mengajukan diri sebagai pengawas atau penjaga gua sarang burung walet. Selain jarang pulang, hukum rimba berlaku.

“Naik sama omku. Dia empat bulan lalu jadi penjaga muara, mengganti yang keluar. Nanti perahu anggota lain lewat jalur sungai sini, kami akan ikut sekalian. Tapi aku belum diminta jaga sarang besar di dalam, jaga muara dulu. Kartu identitsaku baru selesai.” Amirrudi mengeluarkan dompet, di belakang foto mereka berdua dia menarik sebuah karton putih persegi yang dilaminasi.

Rusmana menjepitnya di antara telunjuk dan jempol, tertera nama perusahaan yang menaung pemanfaatan sumber daya alam tersebut, nama, jabatan, dan foto Amirrudi.

“Penjaga muara,” baca Rusmana pelan.

“Niatku memberitahumu hari ini karena kupikir aku belum dipanggil dalam satu minggu ini, ternyata kemarin aku diminta naik ke Muara Sinam sambil memberikan kartu pengenalku,” jelas Amirrudi. “Maaf, Sayang.”

Muara Sinam ialah jalur paling awal, dapat digapai melalui dua alur, yakni sungai dan darat. Sedang menjaga muara merupakan pekerjaan yang dikenal berat pada masa-masa ini—penjaga gua, pemanjat sarang burung, pengantar hasil panen sarang burung. Mengingat seluruh penjaga jarang pulang; kira-kira tiga bulan; dan melewati jalur yang berbahaya banyak penduduk Barimbang menolak bekerja di sana.

“Sejak Persemayan tutup, kau sering bicara tentang muara, harusnya aku tidak kaget kalau tiba-tiba sudah jadi pekerja di sana.” Rusmana mengembalikan tanda pengenal Amirrudi, terus menekuri semut yang lewat.

“Tidak, tetap saja harusnya aku beritahu kau lebih awal.”

Mengalihkan wajah ke tepian sungai, Rusmana membiarkan keadaan hening lebih lama. Menjaga sarang burung berarti terlibat erat dengan hutan, dengan keliarannya, dengan hukumnya, batin Rusmana bersuara. 

Lihat selengkapnya