AMIRRUDI membenahi pikulan tas di pundak, mengangkat satu kaki melewati tepi perahu dan mengambil tempat di kendaraan air tersebut. Duduk nyaman dan menikmati perjalanan perahu yang akan memakan waktu hingga tiga jam, sejenak dia sempatkan melambaikan tangan perpisahan kepada sang kekasih.
Jaga diri baik-baik, bisik hatinya.
Setiap tarikan napas dari udara segar hutan sangat Amirrudi nikmati. Sesekali menyambut cerita yang mengalun nyaring dari atas perahu melawan bising mesin yang terus mendobrak masuk ke telinga. Tawa mendayu bagai mengambang di permukaan air.
Kepalanya bergerak ke sisi kanan sungai, terdapat area yang cukup lapang dan dihuni pondok kecil. Warga baik dari dalam atau luar kampung biasanya memiliki kebun buah; durian, elay, lahung, langsat, rambutan, hingga pisang.
Namun, biasanya pemilik kebun akan datang sebulan sekali, memangkas rumput, memberi pupuk, memeriksa apakah tanaman mereka tumbuh dengan baik. Ketika tiba masanya bunga bermunculan, pondok-pondok akan bersinar, perahu akan terparkir di tepi sungai terikat erat.
Sappar menggamit pundak Amirrudi. “Sudah kudengar kau akan naik juga. Kukira tak jadi.”
Amirrudi menoleh ke belakang. “Jadi. Sudah lama memang aku mau ikut, tapi kelamaan berpikir kemarin.” Dia tertawa.
Sappar ikut tertawa. “Baguslah kalau kita bertemu, aku tak sendirian orang baru di sana.”
Tatkala tiba di tempat tujuan, mereka membantu menarik perahu ke tepian sungai, beranjak naik dan kembali meniti langkah menuju perkemahan para penjaga di Muara Sinam. Detik itu pula tugas Amirrudi benar-benar dimulai.
Melalui jalan setapak yang memakan waktu hingga dua penanakan nasi, Amirrudi dan lainnya menerima sambutan beberapa penjaga kamp luar tepi sungai yang siap berganti tugas dengan mereka. Perahu yang tadi mengantar tidak langsung pergi, melainkan menunggu petugas jaga kamp luar turun dan diantar kembali pulang.
“Oy, Mir. Jaga jugakah?” sambut salah satu teman Amirrudi dari Teluk yang umurnya lima tahun lebih tua.
Terkekeh ringan, Amirrudi membalas, “Iya. Sekalian kumpul-kumpul uang.” Sembari menyisipkan gurauan yang tak sepenuhnya gurau.
Mendengar itu mereka lantas menjadikan Amirrudi sebagai bahan godaan.
“Satu tahun sudah cukup itu. Bisa kau kawin!”
Bukan tanpa alasan, upah dari pekerjaan ini berkali lipat lebih besar dari gaji yang didapatkan selama di Persemayan. Amirrudi mengakui, hal inilah nomor dua yang dia kejar.
Amirrudi hanya menyambutnya dengan terkekeh rendah setelah meletakkan tas.
“Buat apa buru-buru? Lebih baik kumpul uang yang banyak, sambil di sini kita kumpul-kumpul pengalaman, bikin kenangan. Tidak seru juga kalau cepat-cepat, apa yang bisa dinikmati?” sambut seorang yang lebih tua di antara mereka.
Penjaga lain mengangguki ucapan tersebut, dibarengi kekehan ringan karena ada pria lain yang menimpali, “Tidak puas kita kalau cepat keluarnya,” dan lekas menimbulkan tawa lebih kencang bersama pikiran yang terbang ke sudut imajinasi lain.
Amirrudi membuka sepatu dan ikut duduk, bergabung menyesap rokok di teras kamp. Menengok ke samping, beberapa langkah dari kamp terdapat pondok lain yang lebih besar, memuat logistik yang diperlukan para penjaga gua karst di mana di dalam gua itu memuat beribu burung beserta sarangnya.
Ini adalah kali pertama Amirrudi terlibat langsung dengan burung walet yang bersayap runcing dan berekor panjang, dan berwarna hitam dengan bagian bawah tubuh berwarna cokelat. Sebelum-sebelumnya, pria itu sekadar mendengar kisah dari orang-orang sekitar. Kini pria itu berharap sang kekasih di samping dan bersama-sama menikmati ketenangan hutan.
“Kami turun dululah, kalau begitu,” pamit para pengawas sebelumnya.
Amirrudi dan pengganti mereka mengangguk. “Hati-hati!”
“Kau tak mau simpan barang?” tawar Sappar mengajak memasuki kamp.
Mengangkat tas, Amirrudi berada satu kamp dengan Sappar. Terdapat kasur di lantai, meja dengan rak, dan paku-paku di dinding sebagai tempat menggantung baju atau handuk. Luas ruangan tak sebesar kamp di Persemayan, tetapi tak jua menyesakkan.
Pada pengalaman pertama ini pula Amirrudi menemukan sedikit banyaknya interaksi dengan hutan. Siulan malam oleh penghuni di antara dahan-dahan atau antara rimbunnya dedaunan di atas kepala atau mungkin di pijakan tanah di bawah tenda, sambutan pagi yang berirama dan terkadang saling bertabrakan tetapi tetap indah di pendengaran dari Owa Borneo.
Semua terasa menyenangkan bagi Amirrudi, pertemanan yang terjalin amatlah lekat. Mereka berbagi kisah, informasi yang diterima dari luar, canda tawa, hingga Amirrudi tak merasa asing, langsung menyatu bagai keluarga.
“Ini yang kusuka kerja di alam, Par.” Amirrudi menghirup udara sedalam mungkin.
“Tenang. Di Barimbang juga tenang, tapi tak setenang ini.”
“Hm, Barimbang masih ramai. Sementara sekarang cuma ada segelintir orang di tengah-tengah kurungan hutan dan binatang.”
Sappar memandangi pohon-pohon yang tinggi menjulang. “Sebuah terapi.”
“Ya, terapi gratis.”
“Aku ingin menjerat ayam hutan,” ungkap Sappar.
Amirrudi menoleh. “Si Iwan kemarin melihat ayam hutan di sana.”
“Malam ini akan kupasang. Besok kita masak-masak.”
Sappar terbangun pada dini hari sebab jerat itu berhasil mengunci gerak ayam hutan dan membuatnya berkokok heboh, bulunya gelap dan indah. Para penghuni kamp bersorak senang, secara takzim disembelih dan dimasak. Sudah menjadi ciri khas ayam hutan memiliki daging yang alot, sehingga waktu memasak cukup lama dan bumbu yang kuat diperlukan.
Di dalam kamp, Iwan baru saja keluar dan meninggalkan Amirrudi yang sedang melipat surat. Ketika itu Sappar masuk dan tersenyum. Dia duduk dua meter di hadapan Amirrudi.