“WAH, gajinya bukan doble lagi kalau dibandingkan jadi sekuriti Persemayan.” Sappar semringah.
Seperti yang pernah Amirrudi dengar, gaji menjaga kamp logistik yang berada di luar daripada sarang burung walet amatlah menyegarkan mata. Satu juta dua ratus lima puluh ribu telah berada dalam genggaman pada masa satu bulan Amirrudi berada di Muara Sinam.
Amirrudi menampilkan ekspresi setara. “Ya, bahkan empat slop rokok tak menggerakkan setengahnya.”
Mereka berkipas uang. Sangat berkali lipat dari gaji yang didapatkan pekerjaan sebelumnya. Siapa yang tidak terbuai? Amirrudi berhasil melahirkan kalimat-kalimat dari orang-orang mengenai pekerjaan ini, yang mana dikatakan kalau menjaga sarang burung walet termasuk pekerjaan bergengsi, dianggap berduit dibandingkan pekerjaan lain.
Yang sebelumnya upah dua ratus lima puluh ribu cukup untuk beli beras, minyak tanah untuk bahan bakar tanju, sayur mayur dalam masa sebulan, atau bahkan tak sebanyak itu di genggaman karena telah dipotong utang. Kini berubah drastis, melompat naik.
Tak kalap, Amirrudi tahu tujuannya mencari uang, ingat apa yang tertanam di pikiran sejak meninggalkan rumah sampai berada di kamp logistik.
“Kami pulang dulu!”
Amirrudi pulang, dia akan tinggal tiga hari sebelum kembali berjaga. Rusmana tidak ada di pelabuhan menunggunya, tak pula menuntut. Kepulangannya tak sungguh-sungguh berjadwal, tetapi kepergiannya terancang.
“Besok aku ke Tanjung, belanja untuk penjaga lobang—gua walet. Kau tak mau menitip sesuatu?” tanya Amirrudi duduk di bangku muka rumah Rusmana. Sengaja duduk menyamping agar leluasa memandangi wajah yang dirindukan.
“Tidak ada yang kumau.”
“Katakan saja. Aku sudah gajian, minta yang mahal pun tak masalah.” Amirrudi mengayunkan kedua alisnya.
Bibir Rusmana mengerucut. “Bergaya benar! Mentang-mentang gajinya besar, langsung minta dikuras dompetnya.”
Amirrudi tertawa. “Aku tidak bercanda. Bilang saja kau mau apa, nanti kubelikan.”
“Iya, nanti, kalau ada.”
“Kau … dapat dua surat?” tanya Amirrudi hati-hati.
“Hah? Dua lembar maksudmu? Iya, satu surat dan satu sketsa, ‘kan?” Rusmana menerawang kebenaran akan jawabannya.
“Jadi, cuma satu surat?”
Gadis itu mengernyit. “Maksudmu? Kemarin kau kirim dua … surat?” Tiba-tiba dia teringat surat yang digenggam Lembayung, warna amplop dan aroma yang menguar serupa dengan surat dari Amirrudi.
“Tidak. Em… waktu aku antar surat, Sappar juga menitipkan surat. Kukira satunya untukmu.”
Mulut Rusmana terbuka lebar. “Mengapa dia kirimi aku surat? Tidak ada, cuma surat darimu yang kuterima dan kutunggu. Sappar menitipkan surat yang kau lihat itu untuk Lembayung.”
“Mereka bersama?” kaget Amirrudi.
“Katanya masih pendekatan, tapi sejak pernikahan Mandor Ika. Kupikir sudah tidak di masa-masa pendekatan lagi. Lembayung kelihatan malu-malu waktu memberitahuku dari siapa surat yang dia pegang.”
“Aku tidak tahu.”
“Sengaja tak disebar ke mana-mana, mereka sepakat berhubungan sembunyi-sembunyi dulu. Mungkin sebentar lagi akan kelihatan, ekspresi Lembayung kentara sekali kalau bertemu Sappar.”
“Nanti kalau aku pulang dan punya waktu panjang, kita ke Tanjung berdua. Kita jalan-jalan, makan apa saja yang kau mau, menonton bioskop, semua yang bisa kita lakukan,” ajak Amirrudi.
“Hm, pastikan saja kau pulang dengan selamat,” tuntutnya.
BESOK malamnya usai azan isya, kampung Barimbang mendadak riuh. Hamid yang sempoyongan karena alkohol mengamuk di muka balai. Jarinya yang kasar menunjuk-nunjuk orang secara acak.
“Tai babi!” serunya sebelum meludah.
Hamid sudah bertekad untuk tak mabuk lagi, tak mencicip minuman keras dari bahan baku apa pun itu. Namun, Hamid masih sulit lolos dari ajakan teman-temannya, mereka meragukan harga diri Hamid jika tak minum barang segelas. Mengatakan bahwa Hamid berubah demi seorang perempuan, gampang disetir oleh wanita.
Kini berakhirlah pria itu jadi tontonan penduduk kampung. Dia meneguk alkohol yang berbeda dari biasanya, menjadikan kesadaran jatuh ke dasar bumi, hilang kendali.
Hamid meracau, meremas kerah baju teman yang menahan agar dia tak berlari ke rumah dan mengambil senjata tajam.
“Apa kau lihat-lihat? Sini kucongkel matamu!” Mata tajam dan merah Hamid tertuju pada Aban, pria yang sejak lama mengejar-ngejar Rosita.
Hamid tak suka pria itu, setiap melihatnya emosi seketika membawa di balik dada. “Cari mati kaukah, babi?”
“Hamid, sudah! Sadar-sadar kau!” desak yang lain.