MENGINJAK masa-masa awal tahun 1999, Amirrudi akhirnya ditarik naik untuk menjaga area lubang sarang burung—gua—di beberapa tempat. Dia menyampaikan kabar kepada Rusmana, bahwa begitu dia beralih tugas dari penjaga kamp ke penjaga gua, frekuensi berkirim surat akan makin jarak, paling tidak satu bulan sekali. Pun kepulangan Amirrudi akan kian lama.
Raut jujur Rusmana berkata bahwa dia kesulitan menerima hal tersebut. Dia masih rela tak bertemu Amirrudi berbulan-bulan, tetapi terlalu mengerikan bila tidak bertukar kabar dengan sang kekasih berminggu lamanya apalagi pekerjaan itu berbahaya.
“Maaf, aku akan berusaha agar surat sampai lebih cepat dan sesering yang kubisa.”
Rusmana mengangguk lesu. Tak punya pilihan lain. “Hati-hati di sana. Setiap ada kesempatan, pastikan kirim surat dan kabari aku keadaanmu,” pintanya.
Amirrudi menyanggupi.
Sejauh hubungan mereka, tidak ada konflik mencekam selain daripada restu. Kini urusan restu dari Mariana yang merembet pada Masniah mulai mereda, Mariana tidak lagi memburu Amirrudi.
Mariana perlahan berlaku santai dan tak lagi mengerling penuh penilaian kepada Rusmana. Malah pada beberapa kesempatan Marian sering larut dalam obrolan menyenangkan bersama. Rusmana tentu senang, rintangan terbesarnya perlahan roboh.
“Walau dia belum berkata mendukung hubungan kita, setidaknya dia tak lagi mencecarku supaya mempertimbangkan rencanaku menikahimu. Sekarang dia sudah banyak diam, tidak lagi membahas,” ujar Amirrudi.
Pria itu menambahkan, “Karena itu, aku mau supaya kau tidak membebani diri soal restu. Seiring berjalannya waktu pasti dapat jua, yang penting kita terus bersama.”
Namun, Rusmana tak menyangka setelah perkara restu memasuki masa ketenangan, ada hal lain yang mesti dia korbankan. Perkara komunikasi yang terhambat, perjumpaan yang makin jarang.
Amirrudi menyerahkan seluruh kesetiaan kepada Rusmana, dia beranggapan di tengah hutan itu sang kekasih tak seharusnya merisaukan kesetiaannya, justru sebaliknya. Meski mencintai Rusmana, tetap saja datang pikiran buruk perihal akankah sang kekasih berpaling ke lain hati karena bosan? Dia takut.
Rusmana sempat tersinggung, bibirnya mengerucut kesal. “Setia betul aku sama kau ini. Walau jujur, kadang aku bosan, tidak dapat kabarmu berhari bahkan berminggu tidak pernah menyenangkan. Tapi aku tetap sadar untuk tak bermain-main dalam hubungan kita, karena kau di sana tak sedang main-main.”
Mendengarnya Amirrudi tersenyum riang. Dia bisa bekerja dengan tenang setelah pembicaraan tersebut.
Pengalaman pertama Amirrudi menjaga lubang gua ialah di Ngabit, gua yang jaraknya hampir memakan waktu enam jam perjalanan. Selain jarak, tantangan perjalanan mereka amat bertingkat. Ditemani tas perbekalan di punggung dan sepatu bergigi, Amirrudi beserta tiga penjaga lain—Giyat, Rohadi, dan Rusni—ditemani seorang polisi menjajaki jalan menanjak, menyentuh gunung yang permukaannya tak datar.
Mereka melalui tebing yang tepinya seakan bernyanyi memanggil-manggil agar kakimu terpeleset atau salah pijakan hingga berguling-guling ke bawah, bahkan jikalau bisa tebing-tebing itu melantunkan nyanyian indah agar tubuhmu tercerai berai hingga menapak dasarnya.
Jalur menuju Goa Ngabit dikenal sulit sebab kehadiran sebuah tebing mengerikan yang bernama Lobang Lahar Pijar.
“Kira-kira, bagaimana perawakan Lobang Lahar Pijar itu?” tanya Amirrudi pada Sappar.
Sappar mengedikkan bahu. “Aku juga penasaran. Akankah ada api?”
Saat masih di bawah, Amirrudi bertanya-tanya mengapa dinamakan demikian, dan bagaimana rupa dari kengeriannya.
Amirrudi berani menyebut pengalaman pertama menuju gua Ngabit sangatlah menyiksa. Sejauh-jauhnya dia pernah berjalan, paling sepuluh kilometer. Sekarang, tiga jam perjalanan di pijakan tak rata sudah membuatnya sempoyongan. Andai jalur yang mereka lalui rata dan landai, diyakini takkan semenyiksa ini.
“Astaga. Tidak kuat, tidak kuat!” keluh Sappar di belakang Amirrudi.
Amirrudi berbalik, rautnya sudah tidak karuan.
Giyat, seorang yang sudah berpengalaman tertawa. “Dahulu kami juga begitu. Tidak kuat berjalan jauh. Mau istirahat?” tawarnya.