AMIRRUDI bersama lainnya tiba di kamp penjagaan gua sarang burung walet. Gua Ngabit.
Gua yang menjadi hunian burung walet putih. Sebanyak yang Amirrudi ketahui, terdapat empat jenis burung walet; walet putih, walet sarang hitam, walet gunung, dan walet besar.
Varian yang tinggal dan berkembang biak di Gua Ngabit merupakan walet putih. Nama itu didapatkan bukan karena warna bulunya yang putih, melainkan sarangnya. Ia memiliki bulu cokelat kehitaman di bagian atas dan cokelat atau kelabu pada bagian bawahnya.
Selain itu, burung walet memiliki telur yang berwarna putih, biasanya pada saat bertelur hanya akan mengeluarkan satu hingga dua butir dan berbentuk memanjang. Lantas yang paling penting ialah sarang burung walet putih itu sendiri, terbuat dari air liur.
Sarang walet putih atau hitam terbuat dari air liur. Burung walet akan memundungkan pantatnya hingga ke bibir sarang ketika hendak membuat kotoran. Sehingga, sarang mereka akan terbebas dari kotoran selain buku mereka. Maka dari itu, selain manfaat air liurnya, sarang burung banyak diincar karena sifat pembersih.
Dahulu, ketika berumur sebelas tahun, Amirrudi diberitahu dahulu dia pernah mengonsumsi sarang burung walet ketika masih kecil, dicampur ke dalam bubur bayi.
“Untuk mengurangi masalah pada paru-parumu,” ucap Masniah ketika itu.
Amirrudi menenteng tas memasuki gua. Suara burung-burung walet sebenarnya sudah menyambut semenjak jarak di antara mereka masih terpaut satu meter, begitu melewati bibir gua sambutannya kian memuncak.
“Nyaring jualah suaranya,” komentar Amirrudi sambil menekan satu telinga.
Sappar mengangguk membenarkan dengan wajah berkerut dan mata menyipit. “Seperti ditusuk-tusuk telingaku.”
Amirrudi terus melangkah dan perlahan mampu beradaptasi pada kebisingan alam tersebut. Dia mendongak dan berkata, “Inikah tali pemanjat?”
“Iya, biasanya naik lewat tangga bambu,” jawab Rohadi.
Tali-tali yang biasa digunakan untuk panjat tebing menjuntai turun pada beberapa bagian dinding dan atap gua yang biasanya digunakan untuk memanjat dinding gua ketika masa panen tiba, terdapat pula tangga-tangga bambu.
“Kau lihat itu, itu tai burung walet baru.” Rohadi menunjuk kotoran di samping sepatu Amirrudi.
Refleks pria itu bergeser, tak ingin menginjak.
Rohadi menambahkan, “Kami bisa tahu mana tai burung lama dan burung yang baru datang.”
“Bagaimana?”
Rohadi tersenyum. “Tugasmu mempelajari itu.”
Tenda biasanya dipasang di luar atau di dalam gua atau bahkan keduanya. Untuk beberapa kondisi, khusus gua yang teramat luas dengan jalan masuk yang lebih dari satu atau bertingkat, maka tenda para penjaga pun akan dibangun lebih dari satu di sejumlah lokasi.
Di tenda dalam yang jaraknya lima meter dari bibir gua, Amirrudi bertukar sapa dengan para penjaga yang akan bertukar tugas—Amirrudi dan empat temannya menggantikan lima orang di sana—dengan mereka.
“Oi, ada dua penjaga baru.”
Amirrudi dan Sappar segera memperkenalkan diri dan menerima dukungan semangat para penjaga lawas.
Biasanya penjaga lama akan pulang keesokan harinya setelah penjaga pengganti tiba, karena tidak memungkinkan meninggalkan gua pada lewat tengah hari atau sore. Bisa-bisa langit sudah gelap, mereka masih mengitari hutan.
“Di mana si Kasim?” tanya polisi Toni.
“Pergi melihat jerat,” jawab penjaga sebelumnya yang berasal dari suku lokal. “Sebentar lagi muncul dia.”
Tepat ketika itu, Amirrudi mendengar suara seseorang disertai riuhnya kokokan ayam, lebih dari satu suara. Dia berbalik dan Kasim yang disebutkan datang membawa dua ekor ayam hutan.
“Pak, sembelih dulu ayam ini. Biar kita semua bisa masak,” ucap Kasim menyerahkan kedua ayam hutannya yang terus memberontak kepada Toni.
Mengambilnya, polisi itu meminta sebuah pisau dan menambah ketajamannya sebelum menyembelih ayam-ayam itu.
“Sudah ada nasi, kah?” tanya Amirrudi ingin mencari sesuatu untuk dikerjakan.
Seorang dari suku lokal menjawab, “Sisa sedikit, harus masak lagi.”
“Biarlah aku yang masak.” Amirrudi mengintip dandangan besar tempat nasi dimasak, hanya tersisa dua atau tiga porsi nasi, sedangkan mereka ada sebelas orang.
Memindahkan nasi lama, menyalakan api, Amirrudi membasuh beras bersih dan memasukkannya sembari mengawasi api.
Amirrudi akan membuka penutup periuk ketika dirasa nasi sudah hampir mencapai kematangan, sebab berdasarkan pengalamannya, apabila membuka penutup periuk sedangkan nasi belum begitu matang, maka didihan air tidak akan naik lagi sehingga nasi akan gagal.
“Mau dimasak apa?” tanya Amirrudi saat Kasim memotong-motong bawang, sedangkan di sampingnya Rusni memotong ayam menjadi beberapa bagian.
“Dimasak rica, bagaimana? Kita rebus dulu biar tidak terlalu alot.”
Mengangguk, Amirrudi setuju. Makanan pedas memang penggugah selera. Mumpung bumbu yang mereka bawa masih lengkap, sehingga dirasa sempurnalah masakan hari ini.