Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #24

23 | Kedatangan Mbah Mujur

“KAU tahukah, ada yang namanya gua gaib?” Sappar mengeluarkan suara di sela-sela jaga malam bersama Amirrudi.

Menyeruput kopi, Amirrudi menggelengkan kepala ringan. “Belum pernah dengar. Memangnya ada?”

Sappar mengangguk mantap, yakin benar jikalau gua itu ada. “Kau mau dengar ceritanya?”

Tentu Amirrudi ingin. Tanpa banyak kata dia meminta Sappar bercerita, ditemani tambahan kopi, lampu petromaks, cicitan burung walet, dan rasa kantuk yang tidak kunjung bertandang.

Memperbaiki posisi duduk bersilanya, Sappar menyampaikan sebuah kisah, “Pernah ada seorang lelaki yang berjalan di tengah hutan mencari gua sarang burung walet, dia ketemu, gua besar. Di dalamnya ada seorang bidadari, cantik, bening, katanya dia sudah lama berada di gua besar itu. 

“Lelaki ini tentu tidak akan melepaskan kesempatan yang jarang-jarang itu, ‘kan? Mereka menikah, hidup di sana, tetapi melihat kekayaan yang terus bertambah dari hasil penjualan sarang burung walet, lelaki itu mulai merasa bangga diri, haus akan kekayaan lain, haus akan kebahagiaan lain, haus akan sentuhan perempuan lain tidak peduli seberapa besar usaha istrinya agar dia puas pada satu wanita saja. 

“Dia ingin lebih, lebih, dan lebih daripada hasil hari ini. Maka banyak cara dilakukan. Tetapi istrinya yang bidadari itu marah, sakit hati, dan kecewa. Akhirnya pada kesempatan suaminya pergi untuk membeli sesuatu dan konon katanya dia ingin membawa kenalan baru, istrinya takut bahwa yang dimaksud adalah perempuan lain, penggantinya, maka sebelum suaminya datang, gua itu menghilang bersamanya, berubah menjadi batu di tengah hutan. 

“Jalurnya masih sama, tidak ada yang aneh, bukan pula halusinasi, tetapi lelaki yang menggandeng perempuan itu hanya berdiri di depan batu raksasa. Dia kacau, dituduh gila dan penipu.” Sappar menyeruput kopinya lagi, kali ini dia berhati-hati karena sudah dekat di dasar gelas, takut menyedot kotoran kopi.

“Kabar mengenai lelaki itu pun terdengar sampai ke telinga pria kaya raya. Dia sudah berkeluarga, seorang pebisnis, usahanya ada di mana-mana dan ingin mencari gua-gua gaib lain. Dia bahkan menyewa banyak orang untuk menelusuri hutan, mencari gua gaib tersebut.” 

“Pria itu sudah mengeluarkan ratusan juta hanya untuk membiayai orang-orang berkeliling hutan, mencari dan terus mencari sebuah gua gaib yang menampung berton-ton sarang burung walet. Apabila berhasil, pria itu yakin kalau uang yang akan dia dapatkan berkali-kali lipat melebihi apa yang sudah dia keluarkan. 

Tapi, pada suatu malam dia mendapatkan mimpi. Seorang perempuan muncul membawa sebuah pesan yang kalau dia ingin menemukan gua gaib itu, dia harus mengirimkan seekor kambing merah berambut hitam dan berjari lima. Pria ini berpikir keras, di mana dia bisa mencari kambing seperti yang disebutkan.”

“Mimpi itu kembali datang melalui anaknya hampir tiap malam. Makin kemari, dia mulai menemukan keanehan. Jelas sekali tidak ada kambing berwarna merah, berambut hitam dan berjari lima. Jelas sekali mimpi itu bermakna tersirat, tanda diperlukannya tumbal. Mimpi itu mengarahkannya kepada sosok yang haus darah, haus nyawa manusia. Sebuah harga yang terlalu mahal.”

“Sangat mahal. Apalagi permintaan itu juga memasuki mimpi anaknya. Sebagai orang tua, pasti takut,” timpal Amirrudi.

Sappar mengangguk mantap. “Pria itu langsung mundur. Dia tahu kalau jalan yang demikian salah, dia tahu kalau dirinya cuma akan diarahkan pada kesesatan. Akhirnya pencarian dihentikan, tidak ada lagi orang-orang yang menapak hutan mencari gua gaib tersebut.”

Amirrudi terdiam cukup lama. “Tapi mungkinkah yang begitu ada?”

“Maksudmu?”

“Gua sarang burung walet, lubang yang belum disentuh orang di tengah hutan sana.” Amirrudi melirik gelapnya rimba.

Sappar tampak tersenyum tipis sambil mengedikkan bahu. Berpikir sekilas, dia teringat kisah lagi. Namun, yang satu ini bukanlah sekadar legenda, melainkan kabar nyata dari seorang penjaga senior di sebuah gua. “Kau tahu Om Sofi, ‘kan?”

“Tahu, kami pernah ketemu sekali.”

“Nah, Om Sofi dulu pernah ketemu satu gua, berisi. Banyak burung-burung walet putih bersarang di sana. Tidak ada yang jaga, tidak ada yang punya. Katanya dia masih ingat jalannya. Kalau mau, dia bisa kasih tahu, kita pergi ke sana. Kalau berhasil, gua itu bisa jadi punya kita, murni punya kita.”

“Yang betul?” Amirrudi kaget, tidak percaya, tetapi tergoda pada waktu bersamaan. Menjadi pekerja yang tugasnya sekadar menjaga gua agar jauh dari perampok saja upahnya mencapai dua juta, apalagi sebagai pemilik.

Sappar mendecakkan lidah dan tersenyum tajam. “Aih, kau tidak percaya lagi sama aku. Betul, Mir. Sejak kapan aku bohong? Om Sofi sendiri yang cerita, kau tanyalah sama dia pas bertemu nanti. Om Sofi juga sudah kenal aku baik, sering cerita, sering juga aku diberi tambahan bekal. Makanya aku berani kasih tahu kau, aku percaya omongan Om Sofi.”

Sappar menjeda, mengeluarkan rokok baru sebelum menambahkan, “Beliau tidak ambil itu gua, karena Om Sofi malas mengolah. Jaraknya lumayan, kau harus jalan kaki dulu beberapa kilometer dari Gua Tulimpu, baru ketemu. Sedangkan Om Sofi sudah berumur, tidak sanggup mengurus semuanya dari awal, dari nol ibarat kata.”

Amirrudi diam mendengarkan.

“Itu yang pertama, terus yang kedua kau harus bikin jalan lagi, karena masih hutan jadi harus membersihkan jalan yang otomatis mengeluarkan uang banyak. Ketiga, kalau dihitung-hitung, perjalanannya jauh dari gua itu sampai ke muara tempat menimbang hasil panen terus diantarkan lagi ke kota. Kerjanya capek. Aku kalau membayangkan juga ngeri, nyari sendiri, belum lagi mengurusnya. Tapi kalau kau tertarik, bisa saja kita cari.”

Menghela napas, Amirrudi berpikir keras. Untuk menggapai tempat itu, dia harus bertugas di Gua Tulimpu terlebih dahulu, sekarang dia masih memegang tugas penjagaan di Gua Ngabit.

“Pikir-pikir saja dulu, Mir. Aku juga tidak yakin. Kau ‘kan bertekad kuat, makanya kuceritakan padamu, sementara aku ragu-ragu. Kalau tertarik kita tanyakan pada Om Sofi nanti.” Sappar mengisap rokok sambil menatap penuh penantian terhadap tanggapan Amirrudi. 

Lihat selengkapnya