TIDAK ada yang tidur sampai tiga orang muncul. Mereka mengangkat senapan angin, memberikan ancaman, meminta agar tidak ada yang melapor ke kamp logistik terkait aksi kejahatan tersebut.
Para penjaga termasuk Amirrudi siap mengangkat senjata.
“Mundur! Mundur!” pinta para penjaga.
Alih-alih mundur, tamu tak diundang itu maju didahului lesatan satu peluru kea rah tenda.
“Oy!”
Satu hukum yang jelas berlaku di sana ialah hukum rimba. Satu angkat senjata, lainnya siap menembakkan peluru.
Tugas penjagaan harus diteruskan tidak peduli apa yang menghadang. Maka dari itu jika kemunculan kelompok perampok atau penyusup untuk merebut hasil gua tidak bisa dipaksa mundur, pilihannya hanya ditembak; si Perampok yang mati atau si Penjaga yang mati. Sudah pernah terjadi sebelumnya, para penjaga gua harus menenteng mayat perampok ke kamp logistik untuk menyerahkan tugas selanjutnya kepada polisi, dan menjadi menyakitkan apabila harus menenteng mayat sesama penjaga. Namun, sebisa mungkin moncong senjata tetap turun.
“Tembak saja,” tukas Alif yang sudah memompa senapan.
“Sudah, tembak saja. Tembak!” desak Sappar.
Amirrudi menurunkan tali senapan, siap memompa, tetapi suara Mbah Mujur mengurungkan niat tersebut.
“Tahan dulu. Biar aku ajak bicara. Sampai mereka pergi, jangan ada yang boleh menembak.”
Selain segan, kepatuhan mereka disebabkan oleh kedua mata Mbah Mujur seakan menitah agar mereka menurut.
Membiarkan Mbah Mujur menjauh, Amirrudi sempat panik ketika salah satu perampok menembak ke arah orang pintar yang pernah mencungkil daging di sela gigi menggunakan pisau meraut pensil itu.
“Woy!” tegur Amirrudi nyaring, wajahnya dipenuhi guratan khawatir.
Mbah Mujur tidak bereaksi apa-apa, dia justru berbicara meminta para perampok menurunkan senjata. Bagaikan robot, mereka yang terlihat mengenakan pakaian serba hitam memindahkan bibir tempat keluarnya peluru menghadap tanah, seakan jika menolak merekalah yang mati.
Ketika perlahan jarak antara para penjaga gua dan Mbah Mujur jauh, tampak terjadi percakapan-percakapan yang tidak diketahui apa isinya. Tidak terdengar oleh Amirrudi dan penjaga lain. Satu keajaiban yang terlihat, anggota kelompok yang bertekad membunuh itu tampak mengangguk sebelum berbalik dan meninggalkan wilayah Goa Tulimpu atau Buang Buruk. Mereka pergi begitu saja, seakan tidak pernah tergoda oleh sarang-sarang yang besok pagi hendak panen.
“Simpan senapan kalian. Sekarang tidurlah, besok teman-teman pemanjat akan datang memanen,” tutur Mbah Mujur tenang.
Amirrudi salah satu yang diam terpana. Dia menyimak pujian para penjaga atas pengaruh Mbah Mujur dalam mengusir perampok bersenjata tanpa cekcok. Mereka mendambakan ketenangan dan yakin akan terus mendapatkannya selama ada Mbah Mujur di sekitar. Peringatan-peringatan beliau, membawa hidup mereka jauh dari pertumpahan darah.
Alif menepuk bahu Amirrudi. “Bagaimana menurutmu? Keren ‘kan? Mbah Mujur selalu datang ke tempat-tempat berbahaya, mengingatkan kita para pekerja yang tidak punya pilihan selain bertahan hidup supaya bisa menikmati hidup yang lebih lama.”
“Peringatannya selalu ampuh?”
“Seratus persen,” jawab Alif yakin. “Kalau Mbah bilang kita selamat, tidak ada yang perlu ditakutkan.”
Amirrudi mengangguk-angguk, dia memandangi pundak Mbah Mujur yang terangkat seraya mengembuskan napas.
Panen berlangsung tenang sebagaimana biasa, tak ada kejadian aneh. Hanya saja mereka harus melepaskan kepergian Mbah Mujur. Amirrudi menatap punggung Mbah Mujur menjauh dari tenda, berjalan bersama orang-orang yang tengah memikul hasil panen pun iringan beberapa polisi juga tentara. Pengawalan dilakukan setiap hasil panen sarang-sarang burung hendak dibawa pergi dari gua menuju kamp logistik untuk ditimbang, lalu akan terus dikawal sampai berhasil tiba di tempat distribusi atau penjualan sarang burung walet. Tiada lain dan tiada bukan mencegah adanya serangan dadakan untuk merebut paksa hasil panen, bisa saja terjadi perang dadakan di sana.
Sebelum akhirnya benar-benar berpisah, Mbah Mujur meninggalkan sebuah pesan khusus kepada Amirrudi.
“Gua itu ada yang jaga. Tidak sembarang orang bisa melihat dan mampir. Sudah cukuplah dengan gua-gua yang kita pegang, biarlah tetap menjadi bagian alam, milik alam, sampai burung-burung itu sendiri habis dimakan masa.”
Amirrudi menatap kosong. Dia tahu benar arah pesan tersebut, tetapi dia tak mengerti mengapa dia merasa terbebani. Alhasil, dia tidak berhenti memikirkannya sampai tiba waktunya pulang setelah tiga bulan menetap di tenda luar gua.
Mengajak Rusmana ke Tanjung, Amirrudi menghabiskan waktu dari siang hingga sore hari bersama sang kekasih. Mereka pergi bersama Rosita dan Hamid yang berniat merundingkan kelanjutan hubungan.
“Kenapa hari ini kau kelihatan berbeda?” tanya Rusmana setelah mereka keluar dari warung makan.
“Makin ganteng maksudmu?”
“Ya, ya,” sambut Rusmana bernada lebih berat dari biasanya. Berdeham singkat, dia menambahkan, “Tampan sangat.”