Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #26

25 | Nyala Api

“BERTIGA?” tanya Alif memastikan.

“Hm. Kita pastikan jalannya benar atau tidak, kita berhasil ketemu guanya atau tidak. Sekiranya berbuah manis, baru kita pikirkan lagi. Setelah itu … kemungkinan kita bisa mengajak rekan lain?” Sappar mengedikkan bahu.

“Oh, aku paham. Temukan gua dan pastikan rutenya sebelum kita mengajak yang lain, benar? Ya, sebuah rencana matang, kurasa.”

Sappar mengangguk mantap, kedua matanya berkilat dipenuhi animo. Pada tengah malamnya mereka bercerita kepada seluruh penjaga, menyampaikan ketertarikan untuk mencoba mencari gua lain yang belum berpemilik, sembari mengeksplorasi hutan. Rupa-rupanya tak hanya Amirrudi dan Sappar yang pernah mendengar mengenai gua tanpa pemilik tersebut tetapi mereka tidak pernah mencari tahu lebih, sebatas mengangankan di balik batok kepala.

“Tidak apa kalau kalian mau pergi, asal tahu benar jalannya ke mana dan ke mana. Daripada mengkhawatirkan kami, khawatirkan diri kalian sendiri. Walau masa panen sudah lewat, tetap waspada. Bahaya tak ada yang tahu. Mungkin saja kesialan bersembunyi di belakang-belakang pohon tempat kalian kencing,” pesan Umar, salah satu penjaga gua senior.

“Kayaknya kita diminta banyak berjaga karena bakal panen berlimpah melebihi perhitungan. Seperti panen di luar gua Tulimpu.” Pria itu tertawa senang, membayangkan tumpukan uang merah yang diikat karet.

“Benar, bisa jadi tiga teman kita ini akan membawa berkah berlimpah. Takdir Tuhan, siapa yang tahu?”

Bagai mendapat restu dari rekan-rekan penjaga Gua Tulimpu, Amirrudi, Sappar dan Alif mendapat tambahan rasa yakin, dukungan juga harapan. Sehingga seburuk-buruknya hasil perjalanan mereka kelak, usaha itu takkan berakhir kosong.

Tak tahu kepada siapa Tuhan berpihak, Amirrudi bersikeras ingin memegang keberuntungan yang bergelantungan di muka wajah. Hasrat menjelajahi hutan menggebu-gebu, jantung memompa antusiasme bak siap meledak kapan saja.

“Hati-hati!”  

Berpamitan, mereka saling meminta doa, keselamatan, dan keberuntungan.

Masing-masing tubuh dengan tidak sabar menggendong tas dan mengikuti petunjuk peta lisan yang Om Sofi pernah percayakan. Sekali lagi, Amirrudi tidak akan tahu bagaimana nasibnya begitu meninggalkan wilayah Tulimpu; apakah Tuhan menakdirkan dia dan Sappar dan Alif beruntung pulang membawa kabar gembira atau memamerkan tangan kosong. Perjalanan ini akan membuktikan garis hidup mana yang Tuhan beri.

Ketiganya beranjak setelah matahari timbul sempurna.

“Aku tidak sabar. Sebentar lagi akan ada pemilik gua burung walet baru. Beritahu aku nama apa yang cocok? Percayalah, perjalanan kita akan berbuah manis!” yakin Sappar berapa-api.

Sodoran ambisi merambat masuk ke diri Amirrudi, mengalir dan mendidih di dalam nadi. Ketiganya berjalan saling berdampingan, sesekali Sappar dan Amirrudi memetakan arahan lisan Om Sofi. 

Awal mula jalur tujuan dirasa gampang, tergolong aman dan mudah dicapai bahkan diselingi obrolan santai nan menggelitik. Berjalan lurus, ketika bertemu pohon pisang hutan mereka harus mengambil jalur kiri, lalu berjalan lurus, ketika bertemu aliran sungai kecil yang besarnya tak lebih dari dua paha wanita dewasa mereka harus mengikuti jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan panjang, kemudian menaiki tanjakan.

Om Sofi berkata bila jaraknya tidak sampai memakan waktu seharian penuh, sekiranya tepat memilih jalan mereka sampai tepat matahari berdiri di atas kepala. Sebaliknya, bisa berkali-kali lipat untuk bisa sampai, bahkan minim kemungkinan mereka berhasil, terlebih jalan pulang akan terasa kacau.

Dirasa memasuki tiga per empat bagian perjalanan, Amirrudi mendongak. Suara nyaring burung-burung walet yang terbang jauh di atas kepala sangat memancing perhatian.

“Mir! Burung walet, Mir!” seru Alif riang sambil menepuk-nepuk bahu Amirrudi.

Apabila ada burung-burung yang terbang, kemungkinan besar rumah mereka tidak jauh dari sana. Hewan-hewan bersayap itu tampak berputar-putar, saling mengelilingi, saling mengejar satu sama lain, seakan tengah melakukan tarian-tarian pemikat. Amirrudi tidak heran, sekarang sudah menjelang musim hujan, kemungkinan besar burung-burung di atas sana tengah mencari pasangan, jantan memikat betina dan betina terpikat oleh jantan atau sebaliknya. Suara mereka beradu di bawah langit, bagai sedang bernyanyi mengiringi puncak harapan tiga pria yang menggila. Seringai mereka naik dengan drastis.

Amirrudi menoleh kilat, menatap tajam ke balik pepohonan. 

“Kenapa, Mir?” bisik Alif.

“Entah kenapa aku merasa dari tadi kita diikuti.”

“Hah?” Alif ikut menelaah sekeliling. Tidak ada siapa-siapa selain mereka. “Tak ada, Mir. Cuman ada kita di sini.”

Amirrudi meneleng tipis. “Tidak tahu, tapi perasaanku sangat terganggu.” 

“Apa ini bisik-bisik?” timpal Sappar.

Amirrudi menggeleng. “Tidak.”

Dahi Sappar berlipat. “Sudah, kalau begitu kita lanjut. Maju sebentar lagi, habis itu istirahat.”

Ketiga pria itu berhasrat menemukan gua secepat mungkin, tidur di sana, mengamati gua baru, lalu kembali dan menyampaikan kabar penemuan harta karun. Luar biasa indahnya jikalau dibayangkan. 

Amirrudi menyentuh dada, jantungnya berdegup kencang. Getaran itu aneh, nyanyian burung yang hendak memikat satu sama lain juga terasa makin aneh di telinga. Amirrudi gamang. Seketika harapan yang sempat mengerubungi hilang disedot tarian-tarian burung berukuran dua belas sentimeter di bawah langit. Langkahnya sempat tertahan. Sappar yang tak merasakan gejolak aneh sepertinya kini memanggil. 

“Kenapa, Mir? Capek? Kau juga capek, Lif? Kita seberangi saja ini dulu, barulah istirahat.” 

Amirrudi dan Alif menatap ke bawah, tak jauh dari mereka terdapat lubang panjang dengan bibir kecil seperti bekas aliran sungai, tak semengerikan Lobang Lahar Pijar, tetapi cukup menjebak dengan sekitar dinding lubang yang tajam oleh akar dan kasar oleh bebatuan.

Di antara bibir-bibir lubang itu membentang satu batang pohon yang cukup besar untuk dilewati. Di seberangnya tersedia area yang cukup lapang untuk beristirahat, bahkan menyempatkan diri berbaring dan terlelap sejenak tetap nyaman.

“Iya, kita istirahat di sana saja,” setuju Amirrudi. 

“Duluan, Mir, Lif,” suruh Sappar. Dia menurunkan tas, seperti mencari-cari sesuatu.

Amirrudi menengok ke belakang sekilas dengan mata menyipit, sebelum akhirnya menjadi yang paling awal berjingkat menaiki batang pohon. Hati pria itu meragukan kekuatan pohon yang tampak tua. Namun, dia yakin bagian dalam batang masih kokoh. Dia menggigit bibir bawah gugup, kedua tangannya dingin seperti baru keluar dari kulkas.

Ketika pria itu hendak mencapai tengah, barulah Alif mengangkat kaki dan ikut naik. Napas keduanya terengah, letih bercampur antusiasme yang tertahan karena merasakan gua yang sebentar lagi mereka capai.

Brak!

“Aargh!”

Batang pohon patah di tengah-tengah. Benda itu rapuh luar dan dalam, menjadikan Amirrudi dan Alif sebagai orang terakhir yang akan memijak tubuh lapuknya. 

Teriakan panik terdengar. Mengaduh berulang setiap badan menghempas bebatuan besar dan area tebing yang tidak rata.

“Agh!”

Teriakan terdengar sebelum kemudian tubuh keduanya lemas pada posisi terakhir yang mengenaskan.

“Mir! Lif!” teriak Sappar lekas berlari ke tepi jurang, menatap lebar dua rekan perjalanannya hari itu.

Lihat selengkapnya