KABAR duka menyebar cepat. Tubuh yang dipenuhi luka bakar, yang masih bertahan pada kerangkanya dibawa pulang. Tembakan yang biasanya diluncurkan sebagai tanda keberangkatan perahu pembawa hasil panen siap berangkat, kini menjadi tanda akan kepergian tiga mayat ke kediaman masing-masing, meninggalkan lahan mereka mengumpulkan uang.
Tidak ada yang tak menyayangkan nasib ketiganya. Kabar itu benar-benar mematahkan banyak hati, salah satunya Rusmana. Gadis itu terpuruk tiga hari berturut-turut, tidak percaya akan takdir pemberian Tuhan.
“Tidak tahu pasti, yang jelas mereka terjebak di lubang sisa sungai atau apalah, tahu sendiri hutan tidak semulus jalan raya, di tengah-tengah bisa saja ada lubang yang menjebak.”
“Barangkali bertemu perampok di tengah jalan dan merebutkan gua itu? Sungguh, tidak ada yang tahu pasti alasannya selain mereka dan Tuhan. Intinya kami merasa tidak nyaman dan beberapa memutuskan menyusul. Lalu tiba-tiba kobaran api terlihat dari kejauhan, segera kami memanggil bantuan dari kamp. Tidak ada yang selamat, mereka semua sudah hangus.”
Tidak ada yang bisa dituduh dalam permasalahan ini, orangnya telah mati, pelakunya tak terdeteksi. Lantas siapa yang akan Rusmana binasakan selain hatinya sendiri? Pilu menerpa, hati serasa dikoyak. Tidak lagi tahu harus mendefinisikan kesakitan bagaimana, satu yang hal pasti Rusmana merasa sakit yang demikian menyiksa.
“Dia terbakar,” lirih Rusmana tak kuasa membayangkan raga di balik kantong mayat.
PADA tengah malam yang senyap, Mariana tidak bisa berhenti menahan emosi yang menghimpit hati. Di hadapannya api menyala-nyala membakar barang Amirrudi yang tertinggal. Isi kepala sibuk mempertanyakan alasan mengapa sang adik bisa mengambil keputusan bodoh di tengah-tengah tempat penuh kejahatan tak terduga.
“Aku tidak pernah bisa memahami isi kepalamu, Mir. Mengapa kau selalu bergerak di luar kendali? Mengapa keputusanmu tidak pernah sesuai akal?!” Mariana meremas selembar foto Amirrudi yang tersenyum sambil merangkul Rusmana.
Benda itu dilemparkan ke kobaran api dan membakarnya hingga tersisa abu. Dia tidak tahu apa perbedaan antara api yang ada di hadapannya dengan api yang merampas nyawa sang adik, Mariana tidak ingin mencari tahu. Satu hal yang dia ketahui hanyalah, puluhan ember air takkan menyelamatkannya.
Rusmana mengusap bulir tangis di permukaan kertas yang membuat beberapa huruf kabur. Tangannya tengah menuliskan sebuah surat terakhir, surat yang tidak akan pernah sampai kepada sosok tujuan.
"Kenapa harus kau, Mir? Kenapa?"
Dada Rusmana sesak, tidak sanggup membayangkan rasa kehilangan selama berbulan hingga bertahun-tahun ke depan. Dia sudah banyak membayangkan keindahan hidup bersama Amirrudi, tetapi sekarang, ke mana dia harus mewujudkan setiap impian itu? Mendengarkan suaranya saja sulit.
"Tidak, Mir. Tidak boleh begini. Bukan ini yang kumau. Bukan jalan begini yang kau incar, 'kan? Niatmu tak seperti ini, ‘kan?"
Rusmana membenamkan wajah di lekukan kedua lengan, membiarkan tangis berjatuhan dalam diam. Wajah penat dan sulit bernapas sekalipun tak sanggup menghentikan Rusmana malam itu.
Berkali-kali Rusmana mencoba menyugesti diri jikalau Amirrudi masih hidup, masih bernyawa dan sedang menunggunya menjemput.
Sebuah kehilangan yang tiba-tiba di tengah luapan asmara menjadikan akal Rusmana berantakan. Gadis itu bak hilang kendali emosi, bahkan semangat hidup dihempas entah ke mana.
Sampai pada sore hari yang dilingkupi angin sepoi-sepoi, Rusmana mengetuk pintu rumah Mariana setelah memastikan wanita itu ada di kampung, bukan di Tanjung tempat orang tuanya.
“Assalamualaikum. Kak Mariana?”
Wanita yang kacaunya tidak kalah dari Rusmana itu membuka pintu, rambutnya diikat asal. Perlu tiga kali berkedip agar penglihatannya tidak kabur dan kentara menunjukkan duka. “Kenapa?”
"Aku ingin jujur perihal sesuatu, tapi aku tak mengerti bagaimana mengungkapkannya," ujar Rusmana.
Mariana diam sejenak, menelaah ekspresi Rusmana di hadapan penuh teliti, menerjemahkan puluhan intuisi dan firasat sebelum akhirnya membiarkan gadis itu masuk. "Katakan dengan jelas, sekarang aku tidak sedang dalam mode gampang menebak teka-teki."
Rusmana menarik napas panjang, bersiap atas hal yang telah dia putuskan sejak dua hari ke belakang. "Tolong katakan aku ini apa," pintanya membuat Mariana kebingungan.
Mariana menarik napas dalam, tidak memiliki hasrat menerka-nerka. "Jelaskan! Aku takkan paham jika tak kau jelaskan." Dia mengernyit, kantong matanya bengkak.
"Sebelumnya maaf jika ini lancang," imbuh Rusmana setelah menutup pintu, memastikan tak ada yang menyaksikan selain mereka berdua.
Meloloskan celana, aksi itu membuat Mariana hampir menjerit. Kakak Amirrudi lekas menelaah, menerima sebuah sodoran fakta terbaru yang mengejutkan bukan main.
"Ha! Aku tahu ada yang tak beres denganmu!" seru Mariana puas radarnya tak keliru, pada akhirnya.
Setidaknya setelah berhari-hari menelan pahitnya kehilangan, Mariana bisa bangga akan satu hal, walaupun sekarang percuma.
"Aku ... tidak tahu aku ini apa, Kak. Aku bingung siapa aku sebenarnya! Kenapa tubuhku aneh, pikiranku seolah tak sejalan dengan yang kuharapkan. Bahkan aku perlu mengerahkan seluruh tenaga untuk yakin bahwa aku benar-benar mencintai Amir selama ini," ungkap Rusmana setelah memasang kembali celananya, kedua mata itu berkaca-kaca.
Mengajak duduk, Mariana meminta agar Rusmana tenang terlebih dahulu meski isi kepalanya turut riuh, dia ingin mendengarkan lebih. "Sementara ini aku hanya bisa menyimpulkan bahwa kau punya kelamin ganda. Keluargamu tahu? Apakah Amir … tahu?" tanyanya ragu kemudian.
"Hanya Mama, itupun sebatas sadar fisikku aneh. Aku takut bertanya ke menteri sini apalagi sengaja periksa ke dokter. Niatku mau memberitahu Amir setelah dia pulang, tapi—" Rusmana gagal meneruskan ucapan, napasnya seakan tertahan.
Mariana menghela napas. Dia diam mendengarkan keluhan-keluhan Rusmana yang selama ini disembunyikan, yang selama ini terkunci rapat dari teman terdekat bahkan keluarga.
"Aku bohong soal menstruasi yang jarang, sebenarnya aku belum menstruasi mau sebanyak apa minum jamu. Aku berpura-pura sakit perut datang bulan. Satu tahun ini kumisku sering tumbuh, aku selalu mencabutnya sebelum panjang. Suaraku juga makin berat."
Menunjuk leher, dia melanjutkan, “Lihat! Jakunku timbul dan teman-temanku mulai sadar keanehanku. Sungguh, aku hampir kehilangan akal mencari jalan keluar dari semua ini. Aku tidak berani jujur pada siapa pun. Tapi aku bersyukur Amir belum tahu, tidak bisa kubayangkan dia pergi setelah tahu kondisiku. Akan seburuk apa keadaan hatinya? Akan sekejam apa aku baginya?”