Menanti Kepulangan Amirrudi

Fatmawati
Chapter #28

Epilog

MENGHARGAI posisi sang istri, Amirrudi perlu mengutamakan kehendak wanita itu. Amirrudi yang menyerahkan cincin, dia yang menjabat tangan penghulu, maka sudah semestinya dia jugalah yang mempertegas isi hatinya.

"Aku sangat menghargai peran pria itu dalam hidupmu, apa yang sudah dia berikan dan dia korbankan. Aku ikut terbawa suasana di setiap deretan kisah asmara kalian. Sepertimu, aku juga memiliki masa lalu, hanya saja kala itu aku dibalut cinta monyet, tak begitu membekas layaknya cinta pertamamu." Rusdiana menatap sang suami, sorot itu sendu.

Dia melanjutkan, "Juga sebagai orang yang memiliki lembaran lama, kenangan lama, mustahil bagiku memintamu melupakannya. Terlalu egois. Tidak, aku tak pernah bermaksud memintamu melupakan pria itu, hanya saja pada dasarnya kenangan fisik akan membuatmu terus membayangkan. Kau akan bertanya-tanya bagaimana jika dia masih hidup dan kau tetap pada dirimu sebagai Rusmana. Lantas aku akan terlempar jauh di dunia antah berantah.

Menghapus kenangan fisik bukan berarti mencampakkannya, melainkan respek terhadap diri kita yang sekarang. Terhadap orang lain yang telah memasuki hidupmu, Sayang. Kuharap kau mengerti maksudku."

"Aku minta maaf kalau selama ini tanpa sadar aku sudah menyinggung perasaanmu. Tidak bertanya apa yang sebenarnya kau inginkan, tidak pernah bertanya pendapatmu perihal yang harus kulakukan terhadap hubunganku dengan masa lalu. Maaf kalau ternyata hingga detik ini aku lalai akan penghormatanku atas perasaanmu," balas Amirrudi tulus. 

Kiranya mereka bertukar posisi, dia pun akan menuntut hal serupa. Tidak ada yang mau menjalani hubungan bersama sosok yang bahkan belum selesai dengan masa lalu, yang menenteng masa lalu ke sana dan ke mari.

"Tanpa menuntut banyak, aku cuman mau pembuktian bahwa benar kau akan fokus pada kehidupanmu yang sekarang. Padaku dan anak kita."

Tanpa ragu Amirrudi mengangguk. Membantu istrinya turun dari tempat tidur, bersama-sama mereka pergi ke dapur. 

Rusdiana melilit pergelangan tangan atas Amirrudi, terbawa gugup dalam aksi pembuktian sang suami. Di sampingnya pria itu sibuk menarik napas panjang dan mengembuskan. 

"Amirrudi yang ini akan tetap menjadi Amirrudi yang kukenal, yang pernah mengisi masa pencarian jati diriku, yang pernah menghiburku dan mengenalkanku banyak hal. Dan sekarang, aku adalah Amirrudi yang berbeda, yang memiliki kehidupan baru dan harus terus bergerak maju meniti masa depan. Bersamamu dan anak kita," tutur Amirrudi tenang bak menyampaikan puisi selamat tinggal.

Surat-surat itu melabuhkan diri di atas tungku, abu sisa pembakaran kemarin beterbangan. Tangan Amirrudi menggenggam korek gas sementara tangan lain mengambil wadah kecil di dekat tungku. Dia menumpahkan minyak tanah sebelum memantiknya hingga menghasilkan kobaran.

Liuk-liuk api menciptakan sebuah tarian selamat tinggal di kedua mata Amirrudi. Hatinya bagai teriris, tapi sadar bahwa itulah sebuah kerelaan yang harus dia lakukan. Segala jenis ingatan ikut ambil andil di sana, ikut mengucapkan perpisahan kepada empu kenangan.

Kuakhiri kungkungan ini. Biarlah kita yang dulu tetap pada lembar kenangan, biarlah masa-masa itu secara perlahan dimakan oleh waktu, oleh lapuknya usia. Akan kukatakan ini adalah sebuah akhir dari akhir surat: aku sudah sembuh dan akan terus berjalan mencari kesembuhan dari rasa sakit yang lain. Kita yang pernah ada, akan senantiasa menetap di kurun waktu itu. Kita yang pernah ada, hanya akan menjadi ‘pernah’. Sekarang biarkan aku mengarungi kisah baru, Mir, batinnya panjang.

Menatap istrinya, Amirrudi membalas senyum yang wanita itu serahkan. "Aku sangat menghargai usahamu, Mir. Terima kasih banyak."

Lihat selengkapnya