“Eh, Bun. Benar ya, sewaktu aku mau lahir dulu hampir nggak ketolong?”
“Hm,” jawab Bunda. Tangannya sibuk menata makanan di atas meja.
Pagi ini kami akan bersarapan. Sejak subuh Bunda sudah sibuk menyiangi kangkung, menggoreng ayam juga membuat sambal tomat favorit Ayah.
“Emang ada apa, kok tanya-tanya?”
Aku meringis. Bunda mengelus puncak rambutku dengan lembut dan berlalu ke teras, mencari ayahku.
Aroma harum hidangan di depanku seakan menarik perhatian dengan segera. Pagi ini menu yang ditawarkan Bunda memang sangat menggoda.
Ayah mendekatiku, beriringan dengan Bunda. Tampak mereka tengah berbincang sesuatu, tatapan Ayah tajam melihat ke arahku. Apa sih yang mereka omongin?
***
“Jadi, ada yang penasaran dengan kisahnya, nih?” goda Ayah sembari menuangkan air putih ke dalam gelas. Ia telah menyelesaikan makannya.
“He-em, Yah. Kemarin aku dengar dari Mbok Jah, katanya aku pernah hampir-hampir nggak bisa ketemu Bunda seperti sekarang,” ujarku seraya memegang tangan Bunda di atas meja. Mbok Jah adalah wanita tua, tetangga sebelah.
Bunda tersenyum, memperlihatkan lesung pipit manisnya dari pipi kiri. “Udah, kasih tau aja, Yah. Daripada nanti Ayah diteror, he-he-he.”
“Aku Siluman Kepo … akan meneror Ayah siang malam agar membagikan rahasia masa kecilku … hi-hi-hi,” kataku dengan intonasi menakuti Ayah.
“Udah, jangan lebay!” sanggah Ayah, menepiskan tangannya di hadapanku yang tengah menyeringai dengan kedua tangan bergerak-gerak ke atas.
“Selesaikan makanmu dulu. Nanti pasti akan diceritakan sama Ayah,” nasihat Bunda.
Sarapan telah usai. Aku membantu Bunda membereskan meja makan. Kini giliran koleksi tanaman Bunda untuk diperhatikan. Bunda menuju teras untuk menyiram bunga.