Menanti Manganta

dhsers
Chapter #2

#1. Mencari Sebab atau Mencari Alasan?


“Liza! Ada telepon dari Rama!” teriak Bunda dari ruang tengah.

Sengaja aku tak menjawabnya. Sejak semalam, lelaki itu mengusik hidupku. Mengirimkan ratusan gambar emoticon di WhatsApp-ku serta tak terhitung jumlah panggilan masuk.

“Sayang, Rama masih menunggu, loh.” Bunda membuka daun pintu kamar yang memang tak terkunci, melangkah masuk dan menghampiriku di rajang. “Kalian lagi tengkar?” tebaknya.

Sambil mencoba mengontrol marah, aku bangun dari rebahanku. Menggelung rambut tanpa sisir lalu mengangguk pelan. Nggak fair rasanya jika rasa jengkelku kepada Rama, aku lampiaskan ke Bunda.

“Rama itu, ya! Nggak ngerti banget kalau aku lagi nggak mau dihubungi!” dengusku.

“Loh … loh, ada apa? Putri bunda kok jadi seperti ini, sih.” Bunda mengelus halus punggungku.

“Aku cuma minta waktu, Bun. Seben-taaar aja. Susah ya, hidup tanpaku sehari aja? Sebel!” dengusku lagi.

“Hm …, bunda tau. Pasti ada saatnya dalam hubungan untuk sampai di fase ini.” Bunda terdiam sejenak. “Udah diomongin baik-baik dengan Rama?”

Aku mengangguk. Memang dasar Ramadhan Bintoro. Pemuda hitam manis itu memang selalu bikin pusing. Kubujuk Bunda agar mau memberikan alasan masuk akal. Aku masih enggan berbicara dengan Rama di telepon. Untungnya aku mempunyai ibu terkeren sedunia. Selalu berada di pihak anaknya pada waktu diperlukan.

Aku mengenal lelaki bertubuh atletis tersebut, ketika masih di bangku SMU. Dia adalah alumni sekolah kami. Kami bertemu pun secara tidak sengaja, ketika ia meminta legalisasi dari sekolah. Saat itulah aku berjumpa dengannya, di ruang kepala sekolah.

Pertemuan kami terbilang biasa saja—setidaknya menurutku. Hingga esoknya, Citra, teman sebangkuku heboh bertanya alamat rumah juga nomor gawaiku.

Selidik punya selidik, ternyata Citra adalah tetangga si Rama. Mungkin Rama telah mengiterogasinya, mengingat badge kelas di lengan kemejaku sama dengan kepunyaan Citra. Begitulah akhirnya kami berkenalan. Sebatas perkenalan!

Tiga tahun kemudian, aku berjumpa kembali dengan Rama dalam momen ospek kuliahku. Entah sudah takdir atau apa, sekali lagi kami berada di satu tempat yang sama. Kami berbeda dua tingkat−karena Rama juga agak terlambat memulai perkuliahannya.

Rasa dongkolku tiba-tiba meningkat tatkala mengingat betapa menyebalkannya ia, sejak awal.

Bagaimana tidak lupa? Aku merasa dipermalukan. Setiap calon mahasiswa yang mempunyai kesalahan akan mendapatkan hukuman berupa jalan sambil berjongkok.

Bukan itu yang membuatku malu, tetapi syarat satunya, yakni sembari meneriakan nama lengkapku sepanjang lapangan parkir kampus.

‘Liza Amrta Soegiono, aku padamu!’ Itu yang wajib diteriakkan oleh semua calon mahasiswa baru yang kedapatan melanggar peraturan.

Bagusnya lagi, hampir tiap hari dalam seminggu, ada saja yang melakukan pelanggaran. Ya … kuakui, dalam sekejap aku menjadi terkenal, tapi …, be-te nggak sih?

Sebenarnya Rama tidaklah buruk. Dia juga cukup famaous di kampus. Dari segi fisik, tidaklah mengecewakan. Otak pun, lumayanlah. Aku pun mau berpacaran dengannya karena mengira akan mendapatkan tambatan hati yang bisa dibuat sandaran.

Hanya saja, setahun resmi menjadi kekasihnya tidaklah seperti cerita-cerita romantis dalam novel yang sering aku baca.

Para gadis yang masih setia mencintainya, belum bisa merelakan Rama-nya dimiliki oleh satu orang saja. Setiap hari, ada saja teror dan cacian datang kepadaku. Awalnya aku membiarkannya, tetapi lama-lama risih juga. Aku mulai muak!

Bukan itu saja. Akhir-akhir ini Rama juga berubah. Banyak hal yang mulai ia larang aku lakukan. Jangan terus pakai celanalah, harus tampil feminimlah, gerai saja rambutnyalah, mesti pakai riasanlah, bla-bla-bla. Sangat merepotkan!

Lihat selengkapnya