Menanti Manganta

dhsers
Chapter #3

#2. Aku Mau Break!

Hari sudah sore ketika semua mata kuliahku selesai. Aku mengambil kelas ekstra untuk mata kuliah Filosofi. Hal itu aku rasa perlu guna menambahkan kepekaanku dalam menikmati karya-karya sastra.

Langit sore selalu terlihat cantik, tak heran banyak lagu dan karya sastra terinspirasi olehnya.

Lembayung senja, sedang bersolek memuat coretan awan samar di ufuk barat. Na … na … na ….

Beberapa hari lagi liburan semester dimulai. Juga sudah dua bulan berlalu, semenjak pertengkaranku dengan para dayang si Rama.

Sejauh itu, permasalahanku belum mendapatkan solusi. Rama tidak datang di parkiran untuk menyambut tantanganku, waktu itu. Juga hari-hari selanjutnya, ia tak terlihat datang ke kampus.

Beberapa temanku bilang jika ia sedang sakit. Yang lainnya mengabarkan jika ia tengah berada di Jawa Barat, tempat ayahnya berasal. Rupanya ia mengambil cuti lebih awal.

Perhatianku sendiri teralihkan dengan banyak aktivitas kuliah. Meluputkanku dari rasa ingin mencari keberadaannya lebih lagi.

“Bun, aku izin pulang agak malam, ya. Mau mampir ke tempat Wendah. Aku makan di sana aja, jangan tunggu aku!” Kusudahi pengabaran via telepon tersebut dan menuju ke lapangan parkir.

Aku memang sudah janjian dengan Wendah untuk membahas liburan akhir semester nanti. Kuletakkan tote bag di bagasi Scopy putihku, kawan seperjalanan kesayanganku.

Menyusuri jalan pinggiran Ibu Kota Jawa Timur yang mulai meremang. Lampu-lampu jalan sudah menyala, pun beberapa lampu di teras-teras rumah.

Aku suka pemandangan senja. Pergeseran matahari yang pulang ke peraduannya dan digantikan perannya dengan lampu-lampu jalanan sementara menunggu sang bulan datang. Semua itu selalu berhasil membawaku berjalan dalam alam bawah sadarku.

Mendalam. Perlahan sunyi dan sendiri. Meski tak lama, selalu berhasil kembali dengan membawa secuil duka dari sana. Sebuah perasaan yang entah bagaimana aku harus menyebutnya.

Sesuatu seperti menantikan seseorang dalam senja. Aku masih belum tahu siapa ‘seseorang’ itu. Yang jelas hal tersebut sukses membuat air mataku meleleh.

Angin sore menyapa wajahku yang tak terekspos kaca helm. Dingin. Menyadarkanku untuk kembali siaga melajukan motor, setelah aku mengemas air mata dengan punggung tangan.

Aku mengendarai motorku pelan ketika berbelok menuju arah kampung di blok belakang kampus. Wendah tinggal di rumah indekost, tak jauh dari kampus. Hanya butuh 15 menit berkendara dengan kecepatan santai.

Kulayangkan senyum manis kepada satpam yang tengah berdiri di pintu pos jaga sambil merokok, menunggu pergantian shift siangnya usai. Itu adalah bentuk terima kasihku untuk Bapak Penjaga deretan indekost putri di komplek ini. Setidaknya, untuk Wendah.

“Wen, aku di depan pagar, nih. Cepetan keluar, gih. Kebelet pipis!” Kutekan tombol, menyudahi panggilan meski di seberang Wendah hendak berbicara. Kuharap Wendah tidak sedang di kamar mandi.

Sejurus kemudian sahabatku itu berlari-lari kecil membuka gembok pagar. Tampak handuk basah yang ia balutkan asal ke rambut. Punggung bajunya juga basah. Benar dugaanku, ia sedang mandi.

“Makasih, ya. Duh, udah nggak kuat!” seruku sembari berlari ke toilet, meninggalkan motorku tanpa terkunci setir.

“Nih!” Wendah melempar kunci motor ke arahku, begitu aku keluar dari toilet, “Kebiasaan!” imbuhnya sembari nyelonong pergi, masuk ke kamar.

Rumah indekost ini memiliki 16 kamar yang saling berjajar berhadapan, masing-masing hanya berukuran 3x4 meter. Dua toilet terletak di ujung lorong rumah, bersebelahan dengan meja kayu panjang. Biasanya di meja itu anak-anak kos menghabiskan waktu bercengkerama.

Dua sofa tua terletak agak di pojok, menjadi tempat favoritku berselonjor. Lanjut semakin ke dalam adalah bagian perdapuran dan tempat mencuci serta menjemur pakaian. Aku jarang masuk ke area tersebut, kecuali jika aku berniat membuat suatu masakan bersama Wendah.

Lihat selengkapnya