Menanti Manganta

dhsers
Chapter #4

#4 Lanjuuuutttt ....

Bus telah memasuki pintu kedatangan Terminal Arjosari. Menurut yang pernah kubaca, terminal terpadu ini adalah pintu gerbang Kota Malang dari arah utara. Terminal ini melayani angkutan dalam kota, dalam provinsi maupun antar provinsi. Juga merupakan penghubung terminal kecil di wilayah Malang Raya, Blitar dan Kediri.

Kami mengemasi ransel-ransel diiringi instruksi sang Kondektur yang mengingatkan agar jangan ada barang bawaan yang tertinggal.

Udara AC yang menyelimuti kami dua jam terakhir telah membaur dengan berbagai gas di ruang terbuka terminal. Kuikuti langkah Wendah sembari memanggul ranselku.

Meninggalkan area bus berjajar dengan pilar-pilar birunya. Berjalan di antara para penumpang lain, kaki kami menuju peron. Banyak calo menawarkan tumpangan. Sebagian besar nama daerah yang mereka sebutkan masih asing terdengar di telinga.

Aku sibuk tersenyum dan menggeleng kanan kiri, membalas ajakan calo-calo tersebut. Meresahkan sekaligus menyenangkan. Ini adalah pengalaman baru buatku.

“Ah, kita duduk di sini sebentar!” seru Wendah sambil menghempaskan pantatnya di deretan kursi panjang yang berjajar sepanjang koridor.

Kami berada di bagian lorong tengah, area tertutup dan agak lapang. Terdapat kios-kios menjual makan kecil, di sisi kiri kanan. Tak banyak yang memanfaatkan kursi-kursi tunggu ini. Mayoritas penumpang akan langsung menuju pintu keluar atau berbelok kiri untuk berganti angkutan umum.

“Kita mau oper bus lagi?” tanyaku sembari ikut duduk. Lega rasanya bisa mengambil jeda.

“Harusnya,” jawab Wendah. “Kita menuju Terminal Hamid Rusdi, atau kalo nggak gitu, bisa juga dari Nggadang,” imbuhnya sambil menguap lebar.

“Lah! Tadi aku ditawari jurusan gedang−“ kataku panik. Bisa-bisa ketinggalan angkot dong kalau duduk santai di sini.

“Apa? Gedang? Ha-ha-ha ….” Sangking kuat tawanya, hingga Wendah terjungkal. Sungguh aku tak mengerti di mana letak kelucuannya.

“Ngga-dang, bukan ge-dang,” ejanya masih dengan tawa kecil.

“Mbuhlah! Terdengar mirip juga,” elakku.

Aku mencoba menghubungi Bunda untuk mengabarkan kemajuan perjalanan liburanku. Bunda terdengar lega, mengetahui kakiku telah menginjakkan tanah di Kota Malang. Tak lupa deretan wanti-wanti untukku yang terdengar panjang-lebar dari seberang, sebelum panggilanku usai.

“Pak Yunus udah chat aku, bakal jemput kita. Kita tunggu sebentar di sini sambil meluruskan bahu. Dia masih otw,” terang Wendah menyambung pembicaraan yang tadi.

Wendah merenggangkan badan, membujur di kursi yang tampak tersiksa oleh berat badannya. ”Gila, berat juga ranselku. Perasaan Cuma baju aja isinya.”

“Iya. Punyaku juga. Salut deh, sama para back packer yang bawa ransel mereka ke mana-mana,” timpalku.

Sebenarnya bukan isi ransel yang membebaniku, tetapi memang dasar akunya yang bahkan jarang mengangkat berat.

Sebagai anak tunggal, aku cukup dimanjakan. Segala aktivitas yang butuh mengeluarkan tenaga ekstra sangat jarang dibebankan kepadaku. Entah ini adalah bentuk cinta yang baik dari orang tuaku ataukah sebuah petaka tertunda dalam hidupku.

Berbeda dengan Wendah yang memang sudah terbiasa mandiri sejak kecil. Tidak memiliki kendaraan sendiri membuatnya mengandalkan kaki untuk dapat berpindah tempat. Termasuk melakukan banyak hal lainnya yang menguras tenaga.

Perihal ranselnya yang berat, itu memang murni berisi oleh-oleh yang sebagian dititipkan Bunda untuk neneknya. Bunda telah berhasil memaksa untuk membawanya.

“Wendah,” tegur laki-laki berkaca mata. Wajahnya terlihat sumringah dan itu berhasil menularkan ‘energinya’ kepadaku. Walau ini perjumpaan pertama kami, aku langsung menyukai pembawaannya yang ramah.

Lihat selengkapnya