Entah pukul berapa Rubi dibangunkan mamak. Yang pasti sudah dini hari. Mereka tidak bisa memastikan waktu karena tidak punya jam dinding. Hampir di setiap rumah di sekitar mereka tidak memiliki barang yang dianggap istimewa itu, hanya melihat pergerakan matahari saja untuk mengira-ngira.
Mereka tidak berangkat sendiri, ada sekitar sepuluh orang dewasa dan beberapa anak sebaya Rubi. Rubi tidak bisa memastikan wajah-wajah siapa saja yang ada di sana karena penerangan yang digunakan hanyalah dua obor, sungguh sangat terbatas. Obor pertama dipegang lek Karman sedangkan yang kedua di tangan lek Turiman. Lek Karman berjalan paling depan sedangkan lek Turiman paling belakang.
Mereka mulai berjalan kaki menuju kampung yang jaraknya kurang lebih sekitar sepuluh kilometer dari kampung mereka. Tidak ada rasa lelah, semua riang karena tidak setiap hari mereka bisa jalan bersama seperti itu.
Saat menapaki gapura sederhana dari bambu sekedar memberi batasan antara kampung satu dengan kampung lainnya, fajar mulai merekah dari arah timur, kaki-kaki kecil mereka juga mulai letih. Anak-anak yang usianya lebih kecil mulai merengek minta gendong. Akhirnya mereka istirahat dulu di sebuah hamparan tanah luas berumput. Tikar yang sudah sengaja dibawa akhirnya digelar. Saat itu barulah Rubi dapat mengenali wajah-wajah lelah namun penuh semangat itu. Beberapa ibu-ibu mengeluarkan bekal, ada yang membawa termos dan rantang. Mamak Rubi membawa keduanya. Termos diisi air putih panas, sedangkan rantang diisi growol dan lodeh nangka. Growol adalah makanan kesukaan Rubi, meskipun sama-sama dari singkong, Rubi lebih menyukai growol daripada singkong kukus biasa walaupun baunya agak kecut. Apalagi kalau disiram sayur lodeh pedas buatan mamaknya, Rubi begitu menggemarinya.
Mereka mulai sarapan bersama saat matahari masih menguning, saling berbagi bekal, saling menyicip dan memberi. Sungguh, bukan sekedar pongge yang mereka harapkan hari itu, namun sukacita kebersamaan dan canda tawa. Jangankan mereka, Wawan yang anak priangan saja terlihat ceria meskipun masih gagap dengan perbedaan bahasa daerah. Wawan memang baru sebulan pindah ke Sentolo dari Jawa Barat. Kabarnya nenek buyutnya dulu dari pihak ayah memang asli orang Sentolo. Rumah warisan terbengkalai akhirnya mereka tempati.
"Di mana kita akan mengambil ponggenya?" Tanya lek Sito.
"Biasa, sudah dikarungi sama Kadus Jueni," sahut mbah Par, nenek tua yang masih gesit, lincah dan kuat berjalan jauh.
"Ayo, kalau sudah selesai semua kita segera ke sana!" Ujar lek Tukiman. Mereka lalu bergegas membereskan segala perbekalan dan segera beranjak.
Sejak dulu Rubi senang sekali bertandang ke rumah pak Jueni. Selain rumahnya rapi dan bersih, beliau pintar sekali berbicara, ada saja hal-hal baru yang Rubi dengar dari pak Jueni, misalnya tentang penyerangan Belanda di Surabaya, detik-detik proklamasi, sampai pada perkembangbiakan tanaman. Macam-macam yang dibicarakan, memang bukan pada dirinya, namun Rubi adalah penyimak yang baik. Dia akan mendengarkan dengan takjub hal-hal yang baru baginya. Jika sudah pernah tahu juga Rubi tetap senang mengulangnya.
"Mak, sepertinya rumah pak Jueni berubah," ujar Rubi saat langkah mereka sudah mulai mendekat. Dari kejauhan mamak mengamati rumah yang ditunjuk anak gadisnya.
"Berubah apanya?" Tanyanya.
"Lihat! Ada rak buku di depan!" Ujar Rubu setengah memekik. Mamak menggeleng, apa hebatnya buku-buku di dalam rak? Mengapa anaknya bisa sesemangat itu.
Saat tiba di rumah pak Jueni, hal pertama yang menarik perhatian Rubi tentulah susunan buku itu. Sayang, dia belum bisa membaca, huruf-hurufnya saja belum semua dikenalinya. Rubi mengamati dari jauh tanpa berani menyentuh. Isi rak itu lebih banyak buku berbahasa Inggris dan Belanda.