Perjalanan masih separuh saat kecelakaan itu terjadi. Sebenarnya suara kereta api itu sudah mereka dengar namun karena jalanan yang gelap juga karena kereta itu tak berlampu, maka tabrakan tak terelakkan. Wawan jadi korban dan mereka kini bertangisan. Mungkin karena menangis jadi semacam sesuatu yang menular, atau mereka benar-benar dilanda kesedihan, tapi sudah tentu mereka benar-benar sedih, dalam keremangan malam mereka harus menghadapi peristiwa menyesakkan dengan jarak tempuh masih jauh. Tak ada kendaraan apapun pula yang bisa dimintai tolong.
Entah bagaimana kondisinya, Wawan si anak Priangan yang bicaranya pakai logat Sunda tanpa bisa menghilangkan mah dan teh dari setiap kalimat yang dikatakannya, pada akhirnya digotong oleh lek Mangun dan lek Sito setelah diletakkan di atas tikar lalu mereka melangkah kembali meskipun diselingi oleh isak tangis.
Hari masih gelap saat mereka tiba.
"Kowe masuk langsung kunci pintu, jangan keluar-keluar lagi!" ujar mamak sambil memberikan termos dan rantang yang sudah kosong pada Rubi.
"Lha Mamak?" Tanya Rubi menatap ibunya yang masih di depan pintu.
"Mau langsung ke rumah bu Lilis, pasti butuh banyak bantuan," sahutnya.
"Tidak capek, to?" Tanya Rubi mengerjapkan mata.
"Tidak usah ditanya, malah nanti beneran capek," ujar mamak lagi. "Ayo cepat diselot pintunya!"
Rubi menurut, segera ditutupnya pintu lalu menguncinya. Perasaannya berkecamuk, apalagi baru ingat kalau dia belum membasuh muka dan kaki seperti kebiasaannya setelah bepergian jauh. Hendak keluar lagi menuju sumur namun teringat pesan ibunya untuk tidak lagi keluar membuatnya kecut.
"Baru pulang, Nduk?"
Bapak yang baru bangun menghampiri Rubi lalu mengelus kepalanya.
"Nggih, Pak," sahut Rubi.
"Sudah bersih-bersih?" Tanya bapak lagi.
"Dereng," jawab Rubi menggeleng.
"Ayo, Bapak antar!"
Bapak lalu membuka kembali selot pintu.
"Mamakmu sudah ke rumah Wawan?" Tanya bapak sambil menimba air.
"Sudah, Bapak tahu?" Tanya Rubi. Bapak mengangguk.